Lembaga pendidikan agama, khususnya Islam,
berkembang menjadi lembaga pendidikan yang
luar biasa banyak jumlahnya. Jumlah murid yang belajar di Raudlatul Athfal
(TK), Madrasah Ibtidaiyah (SD), Madrasah Tsanawiyah (SLTP), Madrasah Aliyah
(SMU), Madrasah Diniyah, Pesantren, dan Institut Agama Islam jumlahnya sangat
banyak. Dan kalau yang dimaksudkan dengan lembaga pendidikan Islam itu termasuk
SD, SLTP, SMU, dan Universitas yang diselenggarakan oleh yayasan-yayasan atau
organisasi-organisasi Islam seperti organisasi Muhammadiyah, maka
lembaga-lembaga pendidikan Islam menghimpun sangat banyak sekali siswa dan
mahasiswa. Belum lagi banyaknya lembaga-lembaga
pendidikan agama di luar Islam yang juga melibatkan jutaan peserta didik. Hal
ini terus berkembang pesat hingga sekarang.
Di balik kesemarakan pendidikan agama
seperti itu ternyata hampir tertutup dengan semakin jelasnya dekadensi moral
sebagian masyarakat kita mulai dari rakyat jelata sampai para elite kita.
Kejahatan atau tindak kriminalitas semakin hari semakin bertambah di tengah-tengah
masyarakat, mulai dari mabuk-mabukan, pencurian, perampokan, perzinaan,
penipuan, korupsi, dan pembunuhan serta konflik antar umat beragama.
Fenomena di atas memang sangat ironis. Satu
sisi kita melihat menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dengan
berbagai aktivitasnya, tetapi di sisi lain kita juga melihat semakin
bertambahnya tindak pidana di tengah-tengah masyarakat. Lalu, apa atau siapa
yang salah dalam hal ini? Apakah situasi dan kondisinya yang tidak mendukung,
ataukah mereka yang berbuat tindak pidana itu tidak terlibat dalam pendidikan
agama yang diselenggarakan lembaga-lembaga pendidikan atau keagamaan tersebut,
ataukah pendidikan agama yang diterima itu sebatas pendidikan normatif saja
yang tidak memberikan efek yang aplikatif dalam kehidupan sehari-hari, ataukah karena
faktor-faktor yang lain. Jika faktor penyebabnya adalah pendidikan agama itu
sendiri, lalu mengapa demikian. Apakah pendidikan agama ini hanya sebatas mengajarkan
masalah-masalah ibadah khusus atau dogma-dogma agama (aqidah) saja tanpa
dikaitkan atau diaplikasikan bahkan dipraktikkan dalam kehidupan nyata
sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Kalau faktor terakhir ini yang menjadi
masalahnya, maka pendidikan agama perlu diaktualkan. Sekolah-sekolah
Muhammadiyah memang sudah banyak bermunculan tetapi belum ada sekolah
Muhammadiyah yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan tersebut dengan
sebuah jawaban yang konkrit. Oleh karena itu muncul sekolah Muhammadiyah
Program Khusus atau sekolah unggulan yang akan menjadi jawaban dari
masalah-masalah diatas, karena di dalam sekolah ini Pendidikan Agama Islam
tidak hanya mengajarkan ibadah-ibadah khusus atau aqidah saja, melainkan juga
dibiasakan dalam pembiasaan sehari-sehari baik oleh guru ataupun para siswa
sendiri bahkan oleh semua warga sekolah. Dalam sekolah Program Khusus ini juga
setiap pelajaran-pelajaran Umum dikolaborasikan dengan pendidikan Agama,
sehingga Al-Qur’an dan Al-Hadits menjadi rujukan pada setiap pelajaran yang
diajarkan. Kurikulum yang dipakai dalam sekolah ini yaitu Kurikulum Syariah. Salah
satu sekolah yang dapat menjadi contoh adalah SD Muhammadiyah Program Khusus
Kottabarat Surakarta.[1]
Makalah yang singkat ini mencoba memaparkan
urgensi pendidikan agama Islam program khusus di sekolah-sekolah Muhammadiyah
berbasis nilai. Namun, sebelum itu perlu
juga dijelaskan secara singkat mengenai pembelajaran pendidikan agama Islam di
sekolah-sekolah umum, sekolah-sekolah Muhammadiyah, dan sekolah Muhammadiyah
Program Khusus, kerangka pengembangannya, sampai dengan pengembangan
pembelajaran pendidikan agama Islam yang berorientasi pada pendidikan nilai.
PEMBAHASAN
A. Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum, Muhammadiyah, dan Program Khusus
Muhammadiyah
1.
Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum
Pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk
menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan dengan memperhatikan
tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hal kerukunan antar umat beragama
dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Islam dan pendidikan
mempunyai hubungan yang sangat erat.[2]
Dari pengertian di atas
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran agama islam, yaitu
:
a. Pendidikan
agama islam sebagai udaha sadar yaitu suatu kegiatan bimbingan, pengajaran,
atau latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak
dicapai.
b. Peserta
didik yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan, dalam arti ada yang
dibimbing, diajari dan dilatih dalam peningkatan keyakinan, pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan terhadap ajaran agama islam.
c. Pendidik
atau guru pendidikan agama Islam yang melakukan kegiatan bimbingan, pengajaran,
dan pelatihan secara sadar terhadap peserta didiknya untuk mencapai tujuan
pendidikan agama islam/
d. Kegiatan
pembelajaran pendidikan agama islam diarahkan untuk meningkatkan keyakinan,
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama islam dari peserta didik,
yang disamping untuk membentuk kesalehan atau kualitas pribadi yang baik, juga
sekaligus untuk membentuk kesalehan social. [3]
Pendidikan agama Islam
di sekolah-sekolah pada kenyatannya memang mendapatkan porsi yang kurang
sesuai, apalagi di sekolah-sekolah umum. Hanya sekitar 2 jam pelajaran setiap
minggu. Dengan waktu yang singkat seperti itu memang belum maksimal dalam hal
pendidikan yang diberikan kepada anak,dalam hal ini pendidikan agama Islam.
Sehingga karakter Islami yang ingin diwujudkan dalam diri setiap anak akan
menjadi sulit.
Pembelajaran pendidikan
agama islam diharapkan mampu mewujudkan ukhuwah Islamiyah, walaupun masyarakat
berbeda-beda agama, ras, etnis, tradisi, dan budaya, tetapi bagaimana melalui
keragaman ini dapat dibangun suatu tatanan hidup yang rukun, damai dan tercipta
kebersamaan hidup serta toleransi yang dinamis.
Mochtar Buchori juga
menyatakan bahwa kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih
banyak bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan
pendidikan lainnya. Cara kerja seperti ini kurang efektif untuk keperluan
penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks. Karena itu, seharusnya
guru/pendidik agama bekerjasama dengan guru-guru lain. Pendidikan agama tidak
boleh berjalan sendiri, tetapi harus berjalan bersama dan bekerjasama dengan
pendidikan lainnya supaya mempunyai relevansi terhadap perubahan social yang
terjadi di masyarakat. [4]
Towaf telah mengamati
adanya kelemahan-kelemahan pendidikan agama Islam di sekolah, diantaranya
adalah :
a. Pendekatan
masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma-norma
yang seringkali tanpa ilustrasi konteks social budaya sehingga peserta didik
kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.
b. Kurikulum
pendidikan agama islam yang dirancang di sekolah sebenarnya lebih menawarkan
minimum kompetensi atau minimum informasi, tetapi GPAI seringkali terpaku
padanya sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar
yang bervariasi kurang tumbuh.
c. Sebagai
dampak yang menyertai situasi tersebut maka GPAI kurang berupaya menggali
berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama sehingga
pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton.
d. Keterbatasan
sarana/prasarana, mengakibatkan pengelolaan cenderung seadanya. Pendidikan
agama yang diklaim sebagai aspek yang penting seringkali diber prioritas dalam
urusan fasilitas.[5]
Tantangan pendidikan
agama Islam juga terkait dengan tantangan dunia pendidikan di Indonesia pada
umumnya, terutama dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia, yaitu era
kompetitif yang disebabkan oleh meningkatnya standar dunia kerja, jika kualitas
pendidikan menurun maka kualitas sumber daya manusia juga menurun dan lemah
pula dalam hal keimanan dan ketakwaan serta penguasaan iptek, kemajuan
teknologi informasi menyebabkan banjirnya informasi yang tidak terakses dengan
baik oleh para pendidik dan pada gilirannya berpengaruh pada hasil pendidikan,
dunia pendidikan tertinggal dalam hal metodologi, kesenjangan antara kualitas
pendidikan dengan kenyataan empiris perkembangan masyarakat.
2.
Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di Sekolah Muhammadiyah dan Program Khusus Muhammadiyah
Melihat kondisi permasalahan pendidikan
agama Islam dalam pendidikan di sekolah umum, tentunya harus dicarikan solusi
untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Salah satunya Muhammadiyah
sebagai organisasi pergerakan Islam membuat sekolah yang bertujuan untuk
membentuk kader-kader Muhammadiyah yang mempunyai intelektual tinggi dan
pengetahuan agama yang baik, memberikan porsi pembelajaran pendidikan agama
Islam yang lebih banyak dibandingkan dengan sekolah umum, dan menciptakan para
pelajar yang berakarkter Islami.
Seiring dengan berjalannya waktu, banyak
sekolah-sekolah Muhammadiyah yang muncul, mulai dari TK, Sekolah Dasar (SD)
sampai dengan Perguruan Tinggi. Dari sekian banyak sekolah Muhamamdiyah yang
bermunculan, belum begitu banyak sekolah yang mampu menjawab
permasalahan-permasalahan diatas. Walaupun memang ada beberapa sekolah
Muhammadiyah unggulan yang bias menjadi pilihan masyarakat.
Dalam lingkup Sekolah Dasar (SD) belum
begitu banyak sekolah unggulan yang mampu menjadi daya tarik bagi setiap orang
tua yang ingin mensekolahkan anak-anaknya. Kebanyakan masih ke sekolah umum /
negeri. Melihat kondisi seperti itu, muncul sekolah Program Khusus Muhamamdiyah
yang mengkolaborasikan pelajaran umum, sains, dengan pendidikan agama Islam.
Didukung dengan kurikulum syariahnya.
Program Khusus adalah sebuah program yang
direncanakan oleh sebuah lembaga sekolah yang memiliki orientasi dan tujuan
pembentukan karakter khusus bagi setiap anak didiknya. Pembelajaran tidak hanya
secara teori, tetapi diaktualkan dalam pembiasaan sehari-sehari. Selain itu
setiap pelajaran umum yang diberikan selalu diiringi dengan pendidikan
keislaman, dengan bersumber pada Al-Qur’an dan Al-hadits.
B. Pendidikan Agama
Islam di Sekolah Muhammadiyah dalam Kerangka Pengembangan Pendidikan Islam
Jika dilihat
dari aspek program dan praktik pendidikan yang dilaksanakan, maka seluruh
pendidikan Islam yang dilaksanakan di Indonesia ini dapat dibagi kedalam 5
jenis, yaitu pendidikan pondok pesantren, pendidikan madrasah, pendidikan umum
yang bernapaskan Islam yang diselenggarakan atau dibawah naungan yayasan /
organisasi Islam, pelajaran agama islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga
pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja, dan
pendidikan Islam dalam keluarga atau di
tempat-tempat ibadah atau di forum-forum
kajian keislaman (majelis ta’lim) dan
sebagainya yang sekarang sedang banyak digalakkan oleh masyarakat.[6]
Kurikulum
PAI berarti seperangkat rencana kegiatan dan pengaturan mengenai isi dan bahan
pelajaran PAI serta cara yang digunakan
dan segenap kegiatan yang dilakukan oleh guru agama untuk membantu seorang atau
sekelompok siswa dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam, atau
menumbuhkembangkan nilai-nilai Islam. Pendidikan kegamaan dalam kurikulum
pendidikan merupakan bagian terpadu yang dimuat dalam kurikulum pendidikan pada
setiap pelajaran sebagai bagian dari pendidikan nilai.[7]
Pendidikan
agama Islam di sekolah Muhammadiyah hendaknya mengantarkan peserta didik agar
memiliki kemantapan akidah dan kedalaman spiritual, keunggulan akhlaq, wawasan
pengembangan dan keluasan iptek dan kematangan professional. Tugas PAI di
banyak sekolah Muhamamdiyah selama ini terutama pada aspek pertama dan kedua,
namum demikian bagaimana menjadikan aspek ketiga dan keempat sebagai perwujudan
dari pengalaman keagamaan peserta didik, sebaliknya pengembangan aspek ketiga
dan keempat diwarnai dan dijiwai oleh aspek pertama dan kedua. Inilah tantangan
yang dihadapi oleh guru agama dan sekaligus pesan-pesan besar bagi pendidikan
Islam yang harus diperjuangkan dalam mengembangkan dan mengaktualisasi
pembelajaran PAI. Oleh karena itu munculnya SD Program Khusus Muhammadiyah
menjawab permasalahan dan tantangan-tantangan tersebut
Untuk
mewujudkan keempat misi tersebut, maka disamping para siswa diberi Bahasa dasar
iptek yang kuat, seperti matematika, biologi, fisika, kimia, dan ilmu-ilmu
social dan budaya dasar , mereka juga harus diberikan dan dipahamkan dengan
dasar-dasar agama yang kuat pada setiap jenjang pendidikan, pemahaman Islam
yang kuat dalam setiap pelajaran umum yang diberikan.
C. Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam di sekolah Muhammadiyah
Pembelajaran
pendidikan agama Islam yang selama ini berlangsung agaknya terasa kurang
terkait atau kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan
agama yang bersifat kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu
diinternalisasikan dalam diri peserta didik , untuk selanjutnya menjadi sumber
motivasi bagi peserta didik untuk bergerak, berbuat dan berperilaku secara
kongkret dan agamis dalam kehidupan sehari-hari.[8]
Upaya
pengembangan pembelajaran PAI di sekolah Muhammadiyah yang berorientasi pada
pendidikan nilai (afektif) yaitu dalam hal perkembangan nilai moral yang
sekaligus dapat mempengaruhi pilihan strategi (pedekatan, metode, dan teknik)
yang dikembangkannya.
Pembelajaran
PAI di sekolah Muhammadiyah sebenarnya lebih banyak menonjolkan aspek nilai,
baik nilai ketuhanan maupun kemanusiaan, yang hendak ditanamkan atau
ditumbuhkembangkan ke dalam diri peserta didik sehingga dapat melekat pada
dirinya dan menjadi kperibadiannya. Menurut Noeng Muhadjir, ada beberapa strategi
yang bisa digunakan dalam pembelajaran nilai, yaitu :
1. Strategi Tradisional
Strategi ini yaitu pembelajaran dengan jalan memberikan nasihat
atau indoktrinasi. Dengan kata lain, strategi ini ditempuh dengan jalan
memberitahukan secara langsung nilai-nilai mana yang baik dan mana kurang baik.
Dengan strategi ini guru memiliki peran yang menentukan, dan penerapan strategi
ini akan menjadikan peserta didik hanya menghafal atau mengetahui jenis-jenis
nilai tertentu yang baik dan yang kurang
baik serta belum tentu melaksanakannya. Strategi ini lebih bersifat
kognitif sementara afektifnya kurang
dikembangkan. Hal inilah yang menjadi
kelemahan dari strategi tradisional.
2. Strategi Bebas
Strategi ini merupakan kebalikan dari strategi
tradisional. Guru atau pendidik tidak memberitahukan kepada peserta didik
mengenai nilai-nilai yang baik dan yang buruk, tetapi peserta didik justru
diberi kebebasan sepenuhnya untuk memilih dan menentukan nilai mana yang akan
diambilnya karena nilai yang baik bagi orang lain belum tentu baik pula bagi
peserta didik itu sendiri. Guru dan peserta didik sama-sama terlibat aktif.
Kelemahan dari strategi ini adalah peserta didik belum tentu mampu
memilih nilai-nilai mana yang baik dan kurang baik karena masih memrlukan
bimbingan dari pendidik. Oleh karena itu, strategi ini lebih cocok digunakan
bagi orang-orang dewasa.
3. Strategi Refektif
Strategi ini adalah dengan jalan modar-mandir antara menggunakan
pendekatan teoritik ke pendekatan empiric, atau mondar-mandir antara pendekatan
deduktif dan induktif. (Noeng Muhadjir, 1988). Dalam penggunaan strategi ini
dituntut adanya konsistensi dalam penerapan kriteria untuk mengadakan analisis
terhadap kasus-kasus empiric yang kemudian dikembalikan kepada konsep
teoritiknya, dan juga diperlukan konsistensi sebagai dasar deduksi untuk
menjabarkan konsep teoritik ke dalam terapan pada kasus-kasus yang khusus dan
operasional.
Strategi ini lebih relevan dengan tunutan perkembangan berpikir peserta
didik dan tujuan pembelajaran nilai untuk menumbuhkembangkan kesadaran rasional
dan keluasan wawasan terhadap nilai tersebut.
4. Strategi Transinternal
Strategi ini merupakan cara untuk membelajarkan nilai
dengan jalan melakukan transformasi nilai. Dalam hal ini, guru dan peserta
didik sama-sama terlibat dalam proses komunikasi aktif, yang tidak hanya
melibatkan komunikasi verbal dan fisik, tetapi juga melibatkan komunikasi kepribadian
antar keduannya. Dengan strategi ini guru berperan sebagai penyaji informasi,
pemberi contoh/teladan serta sumber nilai yang melekat dalam pribadinya.
Sedangkan peserta didik menerima informasi dan merespons stimulus guru secara
fisik, serta memindahkan dan mempolakan kepribadian guru tersebut. strategi
inilah yang sesuai untuk pembelajaran nilai ketuhanan dan kemanusiaan. [9]
Melihat
kondisi tersebut memang di sekolah Muhammadiyah sendiri pembelajaran pendidikan
agama Islam belum begitu maksimal diberikan kepada siswa. Nilai dan karakter
Islam yang ingin ditanamkan belum terlaksana dengan baik dalam setiap
pendidikan Islam di sekolah Muhammadiyah.
D. SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat
Surakarta
SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat memiliki visi “Pusat Unggulan
ketauhidan dan keilmuan”. Rumusan visi ini adalah sebuah cita-cita, karena itu
selain bersifat jauh kedepan harus bisa dicapai dalam rentang waktu tertentu.
Dengan visi ini SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat mempunyai keinginan
menjadi lembaga pendidikan sebagai pusat unggulan yang memadukan antara spirit
keilahian (tauhid) dengan keilmuan (sains). Tauhid merupakan inti dari ajaran
Islam. Karena itu tauhid harus bisa menjiwai seluruh aspek kehidupan seorang
muslim. Dengan demikian tidak ada dikotomi antara bidang-bidang yang bersifat
spiritual dengan yang bersifat profan. Karena itu, di SD muhammadiyah program
khusus kottabarat tidak pembedaan pelajaran yang bersifat agama dan umum. Semua
pelajaran yang umum sekalipun harus dijiwai dengan semangat tauhid. Hal inilah
yang kemudian melahirkan sebuah konsep kurikulum berbasis syariah yang
implementasinya di SD ini diantaranya diwujudkan dengan penyusunan buku teks
sains syariah yaitu sebuah pelajaran
sains namun semuanya dimuarakan pada yang bersifat keilahian.
Pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah Muhammadiyah diantaranya
Akidah, Akhlaq, Tarikh, Fiqh, Al-Qur’an, bahasa Arab, dan Kemuhammadiyahan
diajarkan dengan konsep kurikulum syariah dalam sekolah ini. Penerapannya
dengan menginternalisasikan ke setiap pelajaran-pelajaran umum. Dalam
pengajaran mata pelajaran agama, selalu diaktualisasi dan diprakltikkan ke
dalam kehidupan sehari-hari, sebagai dasar dalam pelaksanaan ketauhidan di
sekolah ini. Nuansa agamis terlihat sangat baik dilaksanakan di sekolah ini.
SD Muhamamdiyah Program Khusus ini menjadi pusat keungulan ketauhidan
dan keilmuan. Konsep tauhid sendiri adalah mengesakan Allah SWT, ketauhidan yang
dimaksudkan disini artinya meyakini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya yang
menciptakan alam semesta ini beserta isinya. Jadi implementasinya dalam setiap
pelajaran yang diberikan bermuarakan kepala Al-Qur’an dan Al-Hadits,
cipataan-ciptaan Allah dalam setiap pelajaran umum selalu nanti dicarikan ayat
atau hadits yang menjelaskan mengenai hal tersebut. Sehingga memang terbentuk
ketauhidan yang baik bagi setiap siswa.
Selain itu, keilmuan siswa juga menjadi lebih baik dibandingkan dengan
siswa di sekolah-sekolah umum. Karena mereka mengetahui dasar agama dari setiap
pelajaran yang mereka dapatkan, selalu merujuk kepala Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Konsep kurikulum syariah yang diberikan dalam sekolah ini pelajaran
sains namun semuanya dimuarakan pada yang bersifat keilahian. Sehingga siswa
cerdas dan pandai dalam sains yang dilandaskan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Dengan konsep kurikulum tersebut sekolah Muhammadiyah Program Khusus ini
menjadi sekolah unggulan Muhamamdiyah di daerah Surakarta.
Sedangkan misi dari SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat dirumuskan
dalam dua hal, yaitu mengupayakan terbentuknya manusia muslim yang
berkualifikasi ulil albab dan berkarakter Islam (islami) dan melaksanakan
proses belajar mengajar yang dijiwai oleh pendidikan berbasis syariah.
1. Historis
SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat memang didesain menjadi sebuah
sekolah unggulan. Sekolah yang meneriman murid baru mulai pada tanggal 11 juni
2000 tersebut semula menempati gedung SD muhammadiyah 1 ketelan dan menempati
gedung di kompleks Masjid kottabarat pada empat tahun kemudian, tepatnya pada
bulan Juli 2003. Proyeksi keunggulan SD muhammadiyah program khusus kottabarat
dirintis dengan mengembangkan model-model alternatif berbagai riset.
Diantaranta dengan mengambangkan model pengajaran sains syariah.
Sebagai lembaga pendidikan unggulan di lingkungan muhammadiyah, SD
Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat cukup mendapat apresiasi di lingkungan
Muhammadiyah. Namun demikian, sebagai sebuah model pengembangan sekolah unggul,
SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat tentu saja bisa menjadi percontohan
model bagi pengembangan sekolah pada umumnya. Sebagai sekolah yang diresmikan
oleh Menteri kala itu tanggal 27
Februari 2005 yaitu Prof. Dr. Bambang Sudibyo, M.B.A, SD Muhammadiyah Program
Khusus Kottabarat harus bersungguh-sungguh mewujudkan diri menjadi sekolah
bertaraf nasional, bahkan internasional.
2. Budaya Sekolah
Budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi,
kebiasaan keseharian, dan symbol-simbol yang dipraktikkan oleh segenap warga
atau stakeholders sekolah. Budaya Sekolah di SD Muhammadiyah Program Khusus
Kottabarat terwujud dalam perilaku keseharian yang terjadi di sekolah, sejak
mulai warga utama sekolah (siswa dan guru) memasuki gerbang sekolah hingga
mereka meninggalkan gerbang sekolah untuk pulang kerumahnya masing-masing.
Aktivitas sekolah sudah mulai terlihat sejak pukul 06.00. guru piket dan
petugas keamanan sudah bersiap di lingkungan sekolah. Guru piket berdiri di
pintu gerbang sekolah, sementara petugas kemanan sekolah bersiaga di seberang
jalan untuk membantu menyeberangkan murid yang datang karena sekolah menghadap
ruas jalan yang cukup padat kendaraan.
Tepat pukul 06.25 bel masuk dibunyikan. Setelah mengatur kerapian
seperlunya, pukul 06.30 para siswapun memulai tahfidz, yaitu hafalan surah-surah
pendek Al-Qur’an. Tahfidz ini secara serempak berlangsung 30 menit setiap hari.
Pelajaran sekolah dimulai tepat pukul 07.05 hingga jam istirahat pertama pada
pukul 08.50. istirahat pertama berlangsung
20 menit, yaitu sampai 09.10. Setelah itu pelajaran dilanjutkan hingga
pukul 11.30. setelah itu para siswa bersiap untuk salat dzuhur berjamaah,
istirahat dan makan siang. Untuk melatih kemandirian, sehabis makan semua wajib
mencuci piring makanannya masing-masing, termasuk para guru, karyawan, hingga kepala
sekolah. Pukul 13.10 para siswa memulai pelajaran kembali hingga 14.30. waktu
sore hari diisi dengan pelajaran nonkurikulum baku.
Ketika pulang sekolah para guru piket berdiri di depan gerbang sekolah
untuk menyerahkan kembali para siswa kepada orang tua/wali murid. Para guru
piket ini tidak pulang selagi masih ada siswa yang belum dijemput oleh orang
tuanya atau mendapatkan pengantaran pulang. Budaya sekolah ini dibentuk sebagai
bagian untuk mewujudkan visi dan misi sekolah. Di luar itu budaya sekolah
tersbeut untuk membentuk karakter dan kepemimpinan siswa. Katakter tersebut
dibentuk lewat pembiasaan (enkulturasi) melalui media seperti makan, cuci
piring, wudlu, shalat berjamaah, shalat jum’at, bermain, interaksi social,
pelatihan kepemimpinan, dan lain sebagainya.
Lewat budaya sekolah ini pula diharapkan terjadi iklim sekolah yang
menantang dan menyenangkan, adil, kreatif, inovatif, terintegratif, dan
dedikatif tergadap pencapaian visi, menghasilkan lulusan yang berkualitas
tinggi dalam perkembangan intelektualnya dan mempunyai karakter takwa, jujur,
kreatif, mampu menjadi teladan, bekerja keras, toleran dan cakap dalam
memimpin, serta menjawab tantangan akan kebutuhan pengembangan sumber daya
manusia yang dapat berperan dalam
perkembangan iptek dan berlandaskan imtak.[10]
Pembiasaan-pembiasan lain yang dilakukan para siswa-siswi di sekolah ini
antara lain pembiasaan akhlaq yaitu bertemu guru mengucapkan salam, jabat
tangan, dan tersenyum, pembiasaan makan dan minum dengan tangan kanan dan
duduk, pembiasaan shalat rawatib, shalat dhuha di pagi hari, pembiasaan puasa
sunah, ketika masuk kedalam kelas ketok pintu dan mengucap salam, dan memulai
setiap kegiatan yang dilakukan dengan berdoa. Hal inilah yang menjadi kebiasan
di sekolah SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat ini. Jadi pendidikan agama
Islam tidak hanya diajarkan untuk menghafal atau sekedar mengetahui, tetapi
dilanjutkan dengan mempraktikkannya sampai dengan mengaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan makalah singkat diatas
dapat ditarik kesimpulan diantarannya adalah :
1. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam tidak
hanya mengajarkan ibadah-ibadah khusus atau aqidah saja, melainkan juga
dibiasakan dalam pembiasaan sehari-sehari baik oleh guru ataupun para siswa
sendiri bahkan oleh semua warga sekolah.
2. Pembelajaran
pendidikan agama islam diharapkan mampu mewujudkan ukhuwah Islamiyah, walaupun
masyarakat berbeda-beda agama, ras, etnis, tradisi, dan budaya, tetapi
bagaimana melalui keragaman ini dapat dibangun suatu tatanan hidup yang rukun,
damai dan tercipta kebersamaan hidup serta toleransi yang dinamis.
3. Pendidikan agama Islam hendaknya
mengantarkan peserta didik agar memiliki kemantapan akidah dan kedalaman
spiritual, keunggulan akhlaq, wawasan pengembangan dan keluasan iptek dan
kematangan professional.
4. Pembelajaran PAI sebenarnya lebih banyak
menonjolkan aspek nilai, baik nilai ketuhanan maupun kemanusiaan, yang hendak
ditanamkan atau ditumbuhkembangkan ke dalam diri peserta didik.
5. SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat
dalam pembelajaran pendidikan agama Islam tidak hanya diajarkan untuk menghafal
atau sekedar mengetahui, tetapi dilanjutkan dengan mempraktikkannya sampai
dengan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrahim, Muhammad Imaduddin. 1999. Islam
Sistem Nilai Terpadu. Jakarta: Kuning Mas.
Arikunto, Suharsimi. 1988. Penilaian
Program Pendidikan. Yogyakarta: Bina Aksara.
Buchori, Mochtar. 1994. Pendidikan Dalam
Pembangunan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Hasbullah. 2015. Dasar Dasar Ilmu
Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Rajawali Press.
Ma’arif, Ahmad Syafii. 2003. Islam dan
Pengembangan Disiplin Ilmu Sebuah Transformasi Nilai. Yogyakarta: LPPI UMY.
Muhaimin. 2012. Paradigma Pendidikan
Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah. Bandung:
Rosda.
Mukodi. 2011. Pendidikan Islam Terpadu
Reformulasi Pendidikan Di Era Global. Yogyakarta: Aura Pustaka.
Prodjokusumo. 1989. Pendidikan
Muhammadiyah Pendidikan Nasional Berciri Islam Dan Generasi Baru Siap Maju.
Jakarta: A.B.M
Zaelani, Mohamad. 2012. Model
Kepemimpinan Kepala Sekolah Berbasis Kewirausahaan Studi Situs Di SD
Muhammdiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta. Tesis Tidak Diterbitkan.
Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Zulkarnain. 2008. Transformasi
Nilai-Nilai Pendidikan Islam Manajemen Berorientasi Link and Match.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Mukodi, Pendidikan Islam Terpadu Reformulasi Pendidikan Di Era Global, (Yogyakarta: Aura
Pustaka, 2011), hlm. 149
[2] Zulkarnain, Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam Manajemen Berorientasi Link
and Match, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hlm. 14
[3] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Rosda, 2012), hlm. 76.
[5] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Rosda, 2012), hlm. 89.
[6] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Rosda, 2012), hlm. 104.
[7] Hasbullah, Dasar Dasar Ilmu Pendidikan (Edisi Revisi), (Jakarta: Rajawali Press, 2015), hlm. 182.
[8] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Rosda, 2012), hlm. 168.
[9]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Rosda, 2012), hlm. 172.
[10] Mohamad Zaelani, Model Kepemimpinan Kepala Sekolah Berbasis Kewirausahaan Studi Situs Di
SD Muhammdiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta, Tesis Tidak Diterbitkan, (Surakarta: Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012), hlm. 80
No comments:
Write comments