Al-Qur’an yang dalam pandangan kaum muslimin sepanjang abad
merupakan kalam Allah, menyebut dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia”[1]
dan memberikan “penjelasan atas segala sesuatu”[2]
sedemikian rupa sehingga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas yang
salah dari penjelasannya[3].
Karena fungsinya sebagai petunjuk bagi manusia, maka dari generasi ke generasi,
umat Islam terus berusaha untuk memahami kandungan al-Quran dan menyampaikan
kembali hasil-hasilnya. Pemahaman tersebut dalam berbagai karya tafsir dengan
tujuan agar bisa dijadikan sebagai referensi bagi umat Islam dalam upaya
menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk dalam kehidupannya.
Bila diasumsikan bahwa kandungan al Qur’an bersifat universal,
berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan meniscayakan dialog
dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu[4].
Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai dengan
kondisi sosio historisnya, Indonesia juga mempunyai perkembangan tersendiri dalam
kaitannya dengan proses untuk memahami dan menafsirkan al Qur’an yang berbeda
dengan negara-negara berpenduduk muslim lainnya. Indonesia merupakan negara
dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Hal ini tentu juga mempunyai
korelasi signifikan dengan kebutuhan akan pemahaman yang benar tentang al-Qur’an
sebagai pedoman utama dalam kehidupan seorang muslim. Artikel ini mencoba untuk
membahas perkembangan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Hanya saja, karena
banyaknya karya-karya tafsir yang ada di Indonesia, maka artikel ini akan
menjelaskan secara lebih rinci pada tafsir lengkap 30 juz, sedangkan karya
tafsir yang bersifat tematis, maupun yang hanya menfokuskan pada surat-surat
tertentu akan penulis ulas secara lebih singkat sehingga diharapkan kajian ini
akan mencakup keseluruhan karya tafsir yang ada di Indonesia secara
komprehensif namun padat isi.
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Penafsiran di Indonesia
Perkembangan
penafsiran al Qur’an di Indonesia agak berbeda dengan yang terjadi di dunia
Arab yang merupakan tempat turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran
tafsir al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar
belakang budaya dan bahasa. Kajian tafsir di dunia Arab berkembang dengan cepat
dan pesat, karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, sehingga mereka tidak
mengalami kesulitan berarti untuk memahami al-Qur’an. Hal ini berbeda dengan
bangsa Indonesia.
Proses
pemahaman al-Qur’an di Indonesia terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan
al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan penafsiran
yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu, maka dapat dipahami jika penafsiran
al Qur’an di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan
di tempat asalnya[5].
Nashruddin Baidan menyatakan bahwa kajian tafsir sebetulnya telah ada semenjak
masa Maulana Malik Ibrahim, akan tetapi masih bersifat embriotik integral,
yaitu masih bersifat lisan dan diberikan secara integral bersamaan dengan
bidang lain seperti fikih, akidah, dan tasawuf. Metode yang digunakan adalah
metode ijmali dan coraknya masih umum, dengan arti tidak didominasi pemikiran
tertentu dan bersifat praktis tergantung kebutuhan masyarakat saat itu[6].
Dari segi
generasi, Howard M. Federspiel pernah melakukan pembagian kemunculan dan perkembangan
tafsir al Qur’an di Indonesia ke dalam tiga generasi. Generasi pertama dimulai
sekitar awal abad XX sampai dengan tahun 1960-an. Era ini ditandai dengan
penerjemahan dan penafsiran yang didominasi oleh model tafsir terpisah-pisah
dan cenderung pada surat-surat tertentu sebagai obyek tafsir. Generasi kedua,
muncul pada pertengahan 1960-an, yang merupakan penyempurnaan dari generasi
pertama yang ditandai dengan adanya penambahan penafsiran berupa catatan kaki,
terjemahan kata per kata dan kadang disertai dengan indeks sederhana. Tafsir
generasi ketiga, mulai tahun 1970-an, merupakan penafsiran yang lengkap, dengan
komentar-komentar yang luas terhadap teks yang juga disertai dengan terjemahnya[7].
Kesimpulan yang
dikemukakan oleh Federspiel ini tidak sepenuhnya benar, fakta menunjukkan bahwa
pada periode pertama sudah ada karya tafsir yang sudah merupakan penafsiran
lengkap seperti Tarjuman al Mustafid karya Abd al-Rauf Singkel dan Marah Labid
karya Shaykh Muh ammad Nawawi. Demikian juga pada periode kedua sudah terdapat
tafsir lengkap 30 juz dengan komentar yang luas seperti tafsir al Azhar karya
Hamka. Hanya saja, secara umum, karya yang ada memang cenderung seperti yang
dikemukakan oleh Federspiel.
Pada dekade
terakhir, tafsir di Indonesia banyak yang mengarah pada tafsir tematik. Hal ini
banyak dipelopori oleh Quraish Shihab, yang banyak menghasilkan beberapa buku
tafsir tematik seperti Membumikan al Qur’an, Lentera Hati, dan Wawasan al
Qur’an. Kecenderungan ini kemudian diikuti oleh para penulis yang lain dan
makin disemarakkan dengan berbagai kajian tematik dari tesis dan disertasi di
berbagai perguruan tinggi Islam.
B.
Karya
Tafsir di Indonesia
Paling tidak
ada empat bentuk karya tafsir yang berkembang di Indonesia, yaitu terjemah,
tafsir yang menfokuskan pada surat atau juz tertentu, tafsir tematis, dan
tafsir lengkap 30 juz.
1. Terjemah
Terjemah
al-Qur’an pada dasarnya juga melibatkan unsur tafsir, yaitu pemahaman dan
interpretasi terhadap ayat-ayat al Qur’an meskipun dalam bentuk yang sederhana,
terlebih di dalamnya juga disertai dengan catatan kaki tentang makna satu ayat.
Terjemah juga memainkan peran strategis dalam pemahaman umat Islam di Indonesia
terhadap al-Qur’an, karena bahasa Arab bukan bahasa ibu bagi masyarakat
Indonesia, sehingga proses pemahaman mayoritas umat Islam di Indonesia terlebih
dahulu berangkat dari karya-karya terjemah al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia.
Karya-karya tafsir generasi awal seperti Tafsir al-Bayan dan Tafsir al-Furqan,
jika dibandingkan dengan karya generasi berikutnya, lebih bercorak terjemah.
Karena perannya yang sangat strategis, maka dapat dipahami jika terjemah
al-Qur’an juga masih terus berlanjut sampai sekarang.
Karya terjemah
al-Qur’an yang dihasilkan antara lain al-Qur’an dan Terjemahnya oleh Yayasan
Penyelenggara Penterjemahan al-Qur’an Departemen Agama RI tahun 1967[8],
Al-Qur’an dan Terjemahannya oleh Redaksi Penerbit Bahrul Ulum pimpinan H.
Bahtiar Surin, al-Qur’an Bacaan Mulia tahun 1977 oleh H. B. Jassin[9],
dan al-Qur'ân dan Maknanya oleh M. Quraish Shihab.
2. Tafsir yang Menfokuskan Diri Pada Ayat, Surat, atau Juz
Tertentu
Kecenderungan
lainnya dalam tafsir di Indonesia adalah tafsir yang menfokuskan pada ayat atau
surat tertentu. Surat yang menjadi kecenderungan umum untuk ditafsirkan antara
lain surat al-Fatihah, Yasin dan surat-surat pada juz ke-30 (Juz Amma). Hal ini
dapat dimaklumi, karena surat al-Fatihah, surat Yasin dan surat-surat dalam Juz
Amma merupakan surat-surat yang cukup familiar bagi masyarakat bangsa
Indonesia.
Karya tafsir
yang menfokuskan pembahasan pada surat al-Fatihah antara lain adalah Tafsir
al-Qur’anul Karim Surat al-Fatihah karya Muhammad Nur Idris, Rahasia Ummul Qur’an
atau Tafsir Surat al-Fatihah karya A. Bahry, Kandungan al Fatihah, karya
Bahroem Rangkuti, Tafsir Surat al Fatihah karya H Hasri, Samudra al Fatihah
karya Bey Arifin[10],
Tafsir Ummul Qur’an karya M Abdul Malik Hakim, Butir-butir Mutiara al Fatihah
karya Labib MZ dan Maftuh Ahnan, Risalah Fatihah karya A Hassan, Mahkota
Tuntunan Ilahi karya M Quraish Shihab, dan Tafsir Sufi Surat al Fatihah karya
Jalaluddin Rakhmat[11].
Karya tafsir
yang membahas tentang surat Yasin antara lain adalah Tafsir al-Qur’anul Karim,
Yaasin Karya Adnan Lubis, Tafsir Surat Yasien dengan Keterangan karya A.
Hassan, Tafsir Surah karya Zainal Abidin Ahmad, Kandungan Surat Yasin karya
Mahfudli Sahli, Memahami Surat Yaa Sin[12].
Karya tafsir
yang menfokuskan pembahasan pada juz amma (juz 30) antara lain adalah :
al-Burhan, Tafsir Juz Amma karya H. Abdul Karim Amrullah, al-Hidayah Tafsir Juz
Amma karya A. Hassan, Tafsir Djuz Amma karya Adnan Yahya Lubis, Tafsir
al-Qur’anul Karim Djuz Amma karya Zuber Usman, Tafsir Juz Amma dalam Bahasa Indonesia
Karya Iskandar Idris, Al-Abroor, Tafsir Djuz ‘Amma Karya Mustafa Baisa , Tafsir
Juz Amma dalam Bahasa Indonesia karya M. Said, Juz ‘Amma dan Makna karya Gazali
Dunia dan Tafsir Juz Amma Disertai Asbabun Nuzul karya Rafi’udin S.Ag dan Drs.
KH. Edham Rifi’i[13].
Karya lain yang
menfokuskan diri pada ayat dan surat tertentu adalah Tafsir bil Ma’tsur Pesan
Moral al-Qur’an karya Jalaluddin Rakhmat[14],
Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil[15]
dan Tafisr Al-Lubab karya M. Quraish Shihab, dan Tafsir Hijri, Kajian Tafsir Al
Qur’an Surat An Nisa karya KH Didin Hafidhuddin[16].
3. Tafsir Tematis
Karya tafsir
yang bercorak tematis, sebetulnya sudah ada sejak masa pra kemerdekaan. Hal ini
diperkuat dengan adanya temuan tafsir yang berjudul Kitab Faraid al-Qur’an,
yang mengkaji tentang hukum waris pada surat al-Nisa’ ayat 11 dan 12,18 akan
tetapi karya tafsir model ini baru berkembang pesat di era 80 an, dipelopori
oleh Quraish Shihab yang diikuti oleh para penulis lainnya dan makin
disemarakkan dengan berbagai kajian tematik dari tesis dan disertasi di
berbagai perguruan tinggi Islam. Ada dua model karya tafsir tematik yang
berkembang di Indonesia yaitu tematik plural yang membahas berbagai tema
persoalan dan tematik singular yang membahas satu topik bahasan tertentu. Model
kedua, sebagian besar berasal dari karya disertasi.
Karya tafsir
tematis plural antara lain adalah Membumikan al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (1992), Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan
(1994), Wawasan al-Qur’an (1996), dan Membumikan al Qur’an 2 karya Quraish
Shihab, Ensiklopedi al-Qur’an karya M. Dawam Raharjo[17],
Dalam Cahaya al- Qur’an: Tafsir Sosial Politik al-Qur’an karya Syu‟bah Asa[18],dan
Tafsir Tematik al Qur’an tentang Hubungan Sosial antar Umat Beragama karya
Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah[19].
Sedangkan karya
tafsir tematik singular antara lain adalah Konsep Kufr dalam al Qur’an: Suatu
Kajian Teologis dengan Pendekatan Tematis karya Harifuddin Cawidu[20],
Konsep Perbuatan Manusia Menurut al Qur’an: Sebuah Kajian Tematik karya
Jalaluddin Rahman[21],
Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an (1992) karya Musa Asy’arie[22],
Menyelami Kebebasan Manusia: Telaah Kritis terhadap Konsepsi al-Qur’an (1996)
karya Machasin[23],
Ahl Kitab: Makna dan Cakupannya (1998) karya Muhammad Ghalib Mattalo[24],
Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an (1999) karya Nasaruddin Umar[25],
Tafsir bi al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam al-Qur’an (1999) karya
Nashruddin Baidan[26],
Tafsir Kebencian: Studi Bias Jender dalam Tafsir (1999) karya Zaitunah Subhan[27]
Memasuki Makna Cinta (2000) karya Abdurrasyid Ridha[28],
Jiwa dalam al-Qur’an: Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern (2000) karya
Achmad Mubarok[29],
Subhanallah: Quantum Bilangan-bilangan al-Qur’an (2008) karya Muhamad Mas’ud[30],
Wawasan al-Qur'an Tentang Dzikir dan Doa; Asma’ al-Husna: Dalam Perspektif
al-Qur'an, Jin dalam al-Qur’an, Malaikat dalam al-Qur’an dan Syetan dalam
al-Qur’an, karya M. Quraish Shihab.
4. Tafsir Lengkap 30 Juz
Tafsir al Qur’an
di Indonesia yang membahas secara lengkap 30 juz sesuai dengan mushaf ustmani
cukup banyak. Hal yang menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya juga merupakan
salah satu ikon peradaban Islam. Karya-karya tafsir tersebut antara lain adalah
:
a. Tarjuman Mustafid
Tafsir ini
disusun oleh Abd al-Rauf Singkel. Ia lahir di Singkel pada tahun 1035 H/1615 M
dan wafat di Banda Aceh pada tahun 1105 H/1693 M. Nama aslinya adalah Abd
al-Rauf al-Fansuri. Ia adalah seorang ulama dan tokoh dari Aceh yang pertama
kali membawa ajaran tarekat Sattariyah di Indonesia. Pada sekitar tahun 1064
H/1643 M, ia menuntut ilmu ke Arab dan mengunjungi pusat pendidikan agama di
sepanjang jalur perjalanan haji antara Yaman dan Mekah. Kemudian, ia bermukim
di Mekah dan Madinah untuk menambah ilmu al-Qur’an, hadis, fikih, tafsir, dan
tasawuf. Ia juga belajar tarekat Sattariyah pada Ahmad Qusasi (1583-1661
M) dan Ibrahim al-Qur’an. Ia kembali ke Aceh pada sekitar tahun 1662 M dan
mengembangkan tarekat ini.
Abd al-Rauf Singkel
ini pernah menjadi mufti kerajaan Aceh pada masa Sultanah S afiat al-Din Taj
al-Alam. Ia juga seorang ulama yang produktif dalam menulis. Hal ini dapat
dilihat dari karyanya yang berjumlah sekitar 21 buku yang terdiri dari 1 kitab
tafsir yang berjudul Tarjuman al-Mustafid, 2 kitab hadis, 3 kitab fikih, dan
sisanya kitab tasawuf[31].
Kitab Tarjuman
al-Mustafid ini ditulis dengan bahasa Melayu dan lengkap 30 juz sampai surat
al-Nas. Kitab ini bukanlah murni karya Shaykh Abd al-Rauf Singkel, tetapi sudah
ditambah oleh muridnya yang bernama Dawud Rumi berupa kisah-kisah dan perbedaan
qira’at dengan persetujuan Abd al-Rauf Singkel selaku gurunya. Banyak pengamat
menyatakan bahwa kitab ini merupakan terjemah Tafsir al-Bayd awi. Tetapi
beberapa pengamat lain, seperti Peter Riddel dan Salman Harun berpendapat bahwa
secara umum kitab ini merupakan terjemah Tafsir al-Jalalayn, dengan tambahan
rujukan pada Tafsir al-Bayd awi, Tafsir al-Khazin, dan beberapa kitab tafsir
lainnya[32].
Jika melihat
rujukan yang dipakai dalam penyusunan kitab ini, baik Tafsir al-Bayd awi maupun
Tafsir al-Jalalayn yang didominasi oleh ra’y[33],
maka Tarjuman al-Mustafid juga merupakan kitab tafsir bi al-ra’y, dengan metode
tahlili (analitis), meskipun belum mencakup semua aspek yang terkandung dalam
suatu ayat. Hal ini dapat kita lihat ketika menafsirkan QS. al-Fatihah [1]: 4,
Malik yawm al-din, Abd al-Rauf Singkel mengemukakan perbedaan antara satu
qira’at dengan qira’at yang lain. Ia juga menyebutkan asbab al-nuzul ayat,
seperti terlihat pada awal surat mu‘awwidhatayn.
Tafsir ini
menggunakan corak umum, karena ia mencakup berbagai masalah bahasa, fikih, tasawuf,
filsafat, dan adab ijtima’i. Hal ini dapat dimaklumi, karena Abd al-Rauf adalah
seorang ulama yang ahli dalam berbagai bidang keilmuan, seperti fikih, tasawuf,
filsafat, tauhid, sejarah, falak, ilmu bumi, dan politik[34].
b. Tafsir Munir li Ma‘alim al-Tanzil
Tafsir al-Munir
ditulis oleh Shaykh Muhammad Nawawi. Proses penulisan pertama kali dimulai pada
tahun 1860-an dan selesai pada hari Selasa malam Rabu 5 Rabiul Awal 1305 H
(1884 M), yang berarti proses penggarapannya berlangsung selama 15 tahunan.
Sesuai dengan kebiasaannya dalam menulis, Shaykh Nawawi menyodorkan karya
tafsirnya itu kepada ulama-ulama Mekkah untuk diteliti terlebih dahulu sebelum
dicetak. Percetakan ulang yang dilakukan di Kairo terdiri dari dua jilid dengan
kira-kira 500 halaman tiap jilidnya. Jilid yang pertama dimulai dari surat
al-Fatihah sampai dengan asal surat al-Kahf, sedangkan jilid dua dimulai dari
lanjutan surat al-Kahf sampai dengan surat al-Nas.
Terdapat tiga nama
yang diberikan Shaykh Nawawi pada tafsirnya cetakan Beirut yang diterbitkan
tahun 1981, yaitu Marah Labid, Tafsir al Nawawi dan al-Tafsir al-Munir li Ma'alim
al Tanzîl. Dalam kata pengantarnya, ia mengutarakan bahwa karya tasfirnya ini
dibuat untuk memenuhi permintaan beberapa koleganya, meskipun awalnya ia sempat
merasa ragu, karena adanya hadist yang mengecam orang yang menafsirkan al-Qur’an
sesuai pendapat pribadinya. Oleh karena itu, ia mengikuti model pendahulunya
untuk melestarikan pengetahuan, bukan untuk memberi tambahan terhadapnya. Ia
menunjukkan bahwa setiap zaman butuh penyegaran pengetahuan, dan menutup
karyanya dengan berkata, “Semoga usaha (dalam menghasilkan) karya ini dapat
membantu saya, dan kepada semua yang awam pengetahuannya seperti saya”[35].
Sumber tafsir
yang dijadikan rujukan, antara lain Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas
karya Abu Tahir Muhammad b. Yaqub, Irshad al-‘Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab
al-Karim karya Abu al-Suud al-Hanafi, al-Siraj al-Munir karya al-Khatib
al-Sharbini, Mafatih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Razi dan al-Futuhat
al-Ilahiyah karya Sulayman b. Umar[36].
Tafsir ini bisa dikategorikan sebagai tafsir ijmali, karena penjelasan yang
relatif singkat, ringkas dan terkesan tidak analitis, dan jika dipandang dari
sumber penafsirannya, merupakan tafsir bi al ra'y, dikarenakan sedikitnya
periwayatan yang digunakan dibandingkan dengan dominasi penafsiran dari hasil
ijtihad Syeikh Nawawi sendiri.
c. Tafsir al-Furqan
Tafsir ini
ditulis oleh A. Hassan. Ia lahir di Singapura pada tahun 1883 dan wafat di
Bangil pada tahun 1958. Nama aslinya adalah Hassan b. Ahmad, tetapi kemudian
terkenal dengan sebutan Hassan Bandung, dan ketika pindah ke Bangil disebut
juga Hassan Bangil. Ayahnya, Ahmad, adalah seorang penulis dan wartawan yang
memimpin majalah bulanan Nurul Islam di Singapura, dan Ibunya, Maznah, berasal
dari Madras, India dan masih keturunan Mesir.
Hassan berguru
kepada Haji Ahmad Kampung Tiung, Haji Muhammad Taib Kampung Rokoh, Said Abd
Allah al-Munawi al-Mawsili, Abd al-Latif, Haji Hasan, dan Shaykh Ibrahim India.
Ia juga dikenal sebagai seorang yang terampil dalam bertenun dan tukang kayu.
Di tengah kesibukannya dalam mengajar dan berwirausaha, ia telah banyak
menghasilkan banyak karya, di antaranya Soal Jawab, Tafsir al-Furqan,
Pengajaran Salat, al-Faraid, al-Tawhid, Terjemah Bulugh al-Maram, dan lain-lain[37]. Tafsir
ini disusun lengkap 30 juz dan runtut, dimulai dari surat al-Fatihah sampai
surat al-Nas. Tafsir ini bisa dikategorikan tafsir bi al-ra’y dengan bukti
adanya upaya pembahasan ayat-ayat yang dikategorikan mutashabihat seperti
huruf-huruf muqatta‘ah di awal surat. Adapun metode yang digunakan adalah
metode ijmali. Bahkan tafsir ini lebih menyerupai terjemah, bukan tafsir dalam
pengertian yang rinci, karena penafsiran suatu ayat itu hanya merupakan catatan
kaki. Hal ini sejalan dengan penuturan Ahmad Hassan dalam pendahuluan tafsirnya
bahwa tafsirnya ini disusun sedemikian untuk mempermudah masyarakat memahami
makna al-Qur’an.
d. Tafsir Qur’an Hakim
Tafsir ini
ditulis oleh Mahmud Yunus yang lahir pada tanggal 10 Februari 1899 M/30
Ramadhan 1316 H, di desa Sunggayang, Batusangkar, Sumatra Barat. Mahmud Yûnus
tumbuh dikalangan keluarga yang taat beragama. Ayahnya bernama Yunus b. Incek,
seorang pengajar di Surau dan Ibunya Hafsah bint Imam Samiun adalah anak Engku
Gadang M. Tahir bin Ali, pendiri serta pengasuh surau si wilayah tersebut[38].
Mahmud Yunus
berguru kepada kakeknya, M. Tahir (Engku Gadang) dan setelah menunaikan ibadah
haji pada tahun 1923, ia belajar ke Mesir pada Universitas al-Azhar dan Dar
al-Ulum Ulya Kairo sampaitahun 1930. Ia juga seorang aktifis organisasi Majlis
Islam Tinggi Minangkabau dan Pemuda-Pemuda Bekas Gyugun yang didirikan Jepang.
Di sela kesibukannya dalam kedua organisasi inilah, ia menyusun tafsirnya. Ia
mendapat gelar doktor honoris causa dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta[39].
Mahmud Yûnus memulai penulisan kitab tafsirnya ini bulan Nopember 1922 dan
berhasil menyelesaikan tahun 1938. Sebelum menjadi satu jilid, tafsir ini
dengan susah payah berhasil diterbitkan secara berjuz-juz tiap bulan. Sedang
proses penerjemahannya, Mahmud dibantu oleh H. M. K. Bakry tepatnya pada juz 7
s/d 18. Kitab ini juga populer dengan sebutan karya pelopor dikarenakan kitab
ini merupakan tafsir Indonesia pertama yang berbahasa Indonesia secara utuh
sedang penafsiran-penafsiran sebelumnya masih menggunakan bahasa Arab Melayu
(Arab Jawi). Kitab ini terdiri dari dua jilid yaitu pertama satu jilid tamat
dari juz 1 sampai dengan 30, kedua, tiga jilid, pertama dari juz 1 sampai dengan
juz 10, jilid kedua dari juz 11 sampai dengan 20, jilid ketiga dari juz 21 sampai
dengan 30. Tafsir al-Qur’an ini sistematika penafsirannya sama seperti isi
al-Qur’an dan terjemahan di samping kanan ayat (setiap ayat) kemudian
terjemahannya dibawahnya terdapat penafsiran. Sistematika penafsiran Mahmud Yunus
menafsirkan seluruh ayat sesuai susunannya dalam mushaf al-Qur’an ayat demi
ayat, surat demi surat, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan
surah al-Nas. Maka secara sitematika penafsiran tafsir ini menempuh tartib mushaf.
Dilihat dari metodenya, tafsir ini termasuk menggunakan metode ijmali, tetapi
lebih rinci dari tafsir sebelumnya. Meskipun demikian, dalam beberapa
penafsiran, tafsir ini juga bersifat analitis (tahlili), hanya saja jumlahnya
sangat sedikit. Tafsir ini bersandar kepada ra’y dan tidak nampak
kecenderungannya pada kajian tertentu.
Nasruddin
Baidan memberikan nilai plus pada kitab ini, karena kitab ini berbeda dengan
lima kitab lain pada masanya. Kelebihan yang dimiliki kitab ini yang tidak ada
di kitab-kitab lain pada periodenya adalah adanya pemikiran ulama Indonesia
yang juga dilibatkan oleh Mahmud dalam menafsirkan ayat al-Qur’an tepatnya pada
penafsiran ayat tentang kewajiban menutup aurat bagi perempuan pada QS. al-Nur [24]:
31.42[40].
e. Fayd al-Rahman
Penulis tafsir
ini adalah Muhammad Shaleh b. Umar al-Samarani. Lahir di Desa Kedung Jumbleng,
Kecamatan Mayong Kab. Jepara Jawa Tengah sekitar tahun 1235 H/1820 M. Ayahnya
adalah Kiai Umar, salah seorang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Sering disebut
dengan Kiai/Mbah Shaleh Darat, karena ia tinggal di kawasan yang disebut
“Darat”, yaitu daerah dekat pantai utara Semarang, tempat mendarat orang-orang
dari luar Jawa[41].
Pendidikan
pertama diperoleh di daerahnya sendiri serta beberapa daerah di Jawa seperti
Waturoyo Kajen Margoyoso Pati, di Kudus, di Desa Bulus Gebang dan di Semarang.
Berikutnya ia beserta ayahnya pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji.
Ayahnya wafat di Mekkah, sedangkan K. Shaleh Darat terus menetap di sana untuk
menuntut ilmu. Hanya saja tidak diketahui tahun berapa ia pergi ke Mekkah dan
tahun berapa ia kembali. KH Saleh Darat wafat di Semarang hari Jum’at Legi 28
Ramadhan 1321H/18 Desember 1903 M.
Menurut
keterangan Kiai Shaleh Darat, penulisan Fayd al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam
Malik al-Dayyan ini dilatarbelakangi oleh keinginan dirinya untuk menerjemahkan
al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa sehingga orang-orang awam pada masa itu bisa
mempelajari al-Qur’an, karena saat itu orang-orang tidak bisa bahasa Arab.
Selain itu, sebagai jawaban atas kegelisahan RA Kartini, karena pada waktu itu,
tidak ada ulama yang berani menerjemahkan al-Qur’an dalam bahasa Jawa karena
al-Qur’an dianggap terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa
pun termasuk penerjemahan dan penafsiran al-Quran dalam bahasa Jawa[42].
Dalam Tafsir
Fayd al-Rahman, pembahasan dimulai dengan mengarahkan keterangan tentang
identitas surat yang meliputi sejarah turunnya sebuah surat, kemudian
melanjutkannya dengan penjelasan tentang nama surat, tujuan surat dan jumlah
ayat-ayat. Dalam menafsirkan ayat demi ayat, Kiai Shaleh Darat terlebih dahulu
mengalih bahasa, menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa (Arab Pegon), berdasarkan
pemahamannya dengan berpedoman pada Tafsir Jalalayn karya Jalal al-Din
al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuti, al-Tafsir al-Kabir karya al-Razi, Lubab
al-Ta’wil karya al-Khazin, dan Tafsir Imam al-Ghazali. Tafsir Fayd al-Rahman,
merupakan tafsir ishari yang bercorak tasawwuf.
Hal ini dapat
dilihat dari beberapa contoh penafsirannya di antaranya pada penafsiran QS.
al-Baqarah [2]: 219, KH. Saleh Darat menyatakan tafsir ishari ayat tersebut
sebagai berikut: Khamar hakekatnya terbuat dari beberapa jenis yaitu anggur,
kurma, dan anggur kering. Sedangkan khamar secara batin terbuat dari beberapa
jenis hal yaitu syahwat, hawa, rasa lupa, dan cinta dunia. Jadi khamar batin
itu bisa memabukkan pada nafsu dan memabukkan pada akal insânîyah, dan jika
meminum khamar batin itu merupakan dosa besar[43].
f. Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan
Penulis tafsir
ini adalah Teungku Muhammad Hasbi b. Muhammad Husein b. Muhammad Masud b. Abd
al-Rahman Ash-Shiddieqy. Dilahirkan pada bulan Jumad
al-Akhîr 1321H/10 Maret 1907 M di Lho Seumawe + 273 km sebelah timur Banda
Aceh. Hasbi Ash-Shiddieqy menuntut ilmu dari para ulama di beberapa pondok
pesantren terkenal di Dayah, Blangkabu, Gendong, Krueng Mane, Kutaraja dsb[44].
Dari silsilahnya diketahui bahwa ia adalah keturunan ke-37 dari Abu Bakr al- Siddiq[45].
T.M Hasbi ash
Shiddieqy merupakan seorang ulama Indonesia yang terkenal. Ia memiliki keahlian
dalam bidang ilmu fikih dan usul fikih[46], tafsir,
hadis, dan ilmu kalam[47].
T.M Hasbi ash Shiddieqy telah dianugerahkan dua gelar Doktor Honoris Causa
sebagai penghargaan di atas jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan Tinggi
Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman Indonesia. Anugerah tersebut
diperoleh dari Universitas Islam Bandung dan (UNISBA) pada 22 Maret 1975, dan
dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 29 Oktober 1975. Hasbi Ash-Shiddieqy
meninggal dunia pada tanggal 9 Desember 1975. Jasadnya dikebumikan di pemakaman
keluarga IAIN Ciputat Jakarta.
Pertama kali Hasbi
Ash-Shiddieqy menyusun Tafsir al-Nur
yang diterbitkan pada tahun 1956. Namun karena tidak puas, T.M Hasbi ash Shiddieqy
menyusun al-Bayan. Pada
muqaddimah Tafsir al-Bayan, Hasbi Ash-Shiddieqy menulis: “Dengan inayah Allah
Ta’ala dan taufiq-Nya, setelah saya selesai dari menyusun Tafsir al-Nur yang
menterjemahkan ayat dan menafsirkannya, tertarik pula hati saya kepada menyusun
al-Bayan”[48].
Karyanya yang kedua ini juga merupakan terjemahan dan tafsir al-Qur’an
dalam bahasa Indonesia yang diperkirakan dihasilkan oleh pengarang pada awal
tahun 60-an lagi. Cetakan pertama kitab tafsir ini ialah pada tahun 1971
melalui terbitan PT. Alma’arif Bandung, dengan ukuran 15 x 22 cm[49].
Hasbî Ash-Shiddieqy menyatakan sebab-sebab penulisan tafsir ini adalah untuk
menyempurnakan sistem penerjemahan yang terdapat dalam Tafsir al-Nur
karya pertamanya dalam bidang ini. Di samping itu ia juga merasa bahwa
terjemahan-terjemahan al-Qur’an yang beredar
ditengah-tengah masyarakat perlu dikaji dan ditinjau semula. Ash-Shiddieqy
berkata di dalam kitab tafsirnya:
Maka setelah saya memperhatikan perkembangan penterjemahan al-Qur’an
akhir-akhir ini, serta meneliti secara tekun terjemahan-terjemahan itu,
nyatalah bahawa banyak terjemahan kalimat yang perlu ditinjau dan
disempurnakan. Oleh karenanya, dengan memohon taufiq daripada Allah Ta’ala,
saya menyusun sebuah terjemah yang lain dari yang sudah-sudah yang melengkapi
segala lafaz, bahkan melengkapi terjemah dari lafaz-lafaz yang
diungkapkan menurut pendapat pendapat ahli tafsir kenamaan[50]. Al-Bayan
yang dinamakan oleh pengarang adalah bermaksud “Suatu penjelasan bagi
makna-makna al-Qur’an”. Kitab ini terdiri dari dua jilid. Jilid pertama
mengandungi nas-nas ayat al-Qur’an mulai dari surah al-Fatihah sampai dengan ayat 75 surah al-Kahf. Kesemua terjemahan dan
tafsiran bagi jilid pertama mengandungi 789 muka surat. Jilid kedua Tafsir al-Bayan dimulai dari
surah al-Kahf ayat ke 75 sampai dengan surah al-Nas bersama
terjemahan dan tafsirannya yang terkandung dalam muka surat 789 sehingga 1604[51]
Metode penafsiran yang digunakan Hasbi adalah ijmali dengan
pendekatan bi al-ma’thur. Tafsiran
ayat-ayat al-Qur’an biasanya dimulai dengan kata “ya’ni”. Dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an, Hasbi banyak melakukan
penafsiran ayat dengan ayat yaitu dengan menerangkan ayat-ayat lain yang
semakna. Ayat-ayat yang sebanding atau semakna ini biasanya dinyatakan dengan
menyebut nomor surat dan nomor ayat, misalnya pada footnote 124 ketika
menjelaskan surat al-Baqarah [2]: 104. Hasbi kemudian
membandingkan dengan surat al-Nisa’ [4]: 46, dengan menyatakan “Bandingkan
dengan ayat 46 S.4: An Nisa’[52]. Sedangkan
ayat-ayat yang ada hubungannya dengan penafsiran tersebut dinyatakan menyebut
nomor surat dan nomor ayat, diawali dengan kata “bacalah”. Misalnya pada footnote
200 ia menyatakan “baca : a. 6 S 35: Fathir; a. 50 S.18: al-Kahf. Di
samping itu, Hasbi juga sangat memperhatikan ayat-ayat yang berkaitan dengan
hukum.
g. Tafsir al-Azhar
Tafsir ini
ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (atau lebih dikenal dengan julukan
HAMKA, yang merupakan singkatan namanya), lahir tahun 1908, di desa kampung
Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981, adalah
sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik. Belakangan ia
diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal
dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang
yang dihormati. Ayahnya adalah Shaykh Abdul Karim b. Amrullah, yang dikenal
sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di
Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka adalah
seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat,
sastra, sejarah, sosiologi, dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan
kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan
pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaydân, Abbas al-Aqqad,
Mustafa al-Manfalutî dan Husayn Haykal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti
karya sarjana Perancis, Inggris, dan Jerman seperti Albert Camus, William
James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre
Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh
terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji
Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya
sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal[53].
Tafsir ini pada
mulanya merupakan rangkaian kajian yang disampaikan pada kuliah subuh oleh
Hamka di masjid al-Azhar yang terletak di Kebayoran Baru sejak tahun 1959[54].
Nama al-Azhar bagi masjid tersebut telah diberikan oleh Shaykh Mahmud
Shaltut, Rektor Universitas al-Azhar
semasa kunjungannya ke Indonesia pada Desember 1960 dengan harapan supaya
menjadi kampus al-Azhar di Jakarta. Penamaan tafsir HAMKA dengan nama Tafsir
al-Azhar berkaitan erat dengan tempat lahirnya tafsir tersebut yaitu Masjid
Agung al-Azhar[55].
Terdapat
beberapa faktor yang mendorong HAMKA untuk menghasilkan karya tafsir tersebut.
Hal ini dinyatakan sendiri oleh HAMKA dalam pendahuluan kitab tafsirnya. Di
antaranya ialah keinginannya untuk menanam semangat dan kepercayaan Islam dalam
jiwa generasi muda Indonesia yang amat berminat untuk memahami al-Qur’an tetapi
terhalang akibat ketidakmampuan mereka menguasai ilmu Bahasa Arab.
Kecenderungannya terhadap penulisan tafsir ini juga bertujuan untuk memudahkan
pemahaman para muballigh dan para pendakwah serta meningkatkan keberkesanan
dalam penyampaian khutbah-khutbah yang diambil daripada sumber-sumber Bahasa
Arab.
HAMKA memulai Tafsîr
al-Azhar dari surah al-Mu’minun karena beranggapan kemungkinan tidak sempat
menyempurnakan ulasan lengkap terhadap tafsir tersebut semasa hidupnya[56].
Mulai tahun 1962, kajian tafsir yang disampaikan di masjid al-Azhar ini, dimuat
di majalah Panji Masyarakat[57].
Kuliah tafsir ini terus berlanjut sampai terjadi kekacauan politik di mana
masjid tersebut telah dituduh menjadi sarang “Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”.
Pada tanggal 12 Rabial-Awwal
1383 H/27 Januari 1964 M, Hamka ditangkap oleh penguasa orde lama dengan
tuduhan berkhianat pada negara. Penahanan selama dua tahun ini ternyata membawa
berkah bagi Hamka karena ia dapat menyelesaikan penulisan tafsirnya.
Tafsir al-Azhar
merupakan karya HAMKA yang memperlihatkan keluasan pengetahuannya, yang hampir
mencakup semua disiplin ilmu penuh berinformasi. Sumber penafsiran yang dipakai
Hamka antara lain, al Qur’an, hadis Nabi, pendapat sahabat dan tabi‘in,
riwayat dari kitab tafsir mu‘tabar seperti al-Manâr dan Mafâtih al-Ghayb, serta
juga dari syair-syair seperti syair Moh. Iqbal[58].
Tafsir ini ditulis dalam bentuk pemikiran dengan metode analitis atau tahlili[59].
Karakteristik yang tampak dari tafsir al-Azhar ini adalah gaya penulisannya
yang bercorak adabî ijtima‘i (sosial kemasyarakatan) yang dapat disaksikan
dengan begitu kentalnya warna setting sosial budaya Indonesia yang ditampilkan
oleh Hamka dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an.
h. Al-Qur’an dan Tafsirnya
Tafsir ini
disusun oleh Tim Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) yang terdiri
dari Prof. H. Zaini Dahlan, MA., Drs. H. Zuhad Abdurrahman, Ir. RHA Sahirul
Alim, M.Si., Hifni Muchtar L.Ph., MA., Drs. H. Muhadi Zainuddin, L.Th., Drs. H.
Hasan Kharomen, dan Drs. H. Darwin Harsono[60].
Diterbitkan oleh Badan Wakaf UII tahun 1995 sebanyak 10 jilid. Secara teknis
tafsir ini merupakan revisi dan penyempurnaan dari tafsir yang diterbitkan oleh
Tim Departemen Agama RI. Anggota Tim Tafsir yang dibentuk oleh Departemen Agama
RI adalah Prof. H. Bustami A Gani, Prof. TM Hasbi Ash Shiddieqy, Drs. Kamal
Muchtar, H. Gazali Thaib, KH. Syukri Ghozali, Prof. Dr. H. Mukti Ali, Prof. Dr.
H. Mukhtar Yahya, Prof. H.M. Toha Yahya Umar, KH. Amin Nashir, Prof.KH. Ibrahim
Hussin, LML, H. A. Timur Jailani, MA., Prof. KH. A. Musaddad, Prof. R. H.A.
Soenarjo, SH., KH. Ali Maksum, Drs. M. Sanusi Latif, Drs. Busairi Majidi, dan
Drs. A. Rochim[61].64
Tafsir ini merupakan edisi revisi dari al-Qur’an dan Tafsirnya yang disusun
oleh Tim Departemen Agama RI. Perbaikan dan penyempurnaan yang dilakukan oleh
Tim Universitas Islam Indonesia Yogyakarta meliputi:
a) Kesalahah penulisan teks ayat al-Qur’an.
Penulisannya disesuaikan dengan Mushaf Uthmani
yang telah distandarkan berdasarkan SK Menteri Agama No 7 tahun 1984.
b) Kesalahan
penterjemah/kekurangan ayat-ayat al-Qur‟an.
c) Kesalahan
penulisan hadis.
d) Melengkapi
setiap hadis dengan perawi masing-masing.
e) Melengkapi
tanda-tanda baca/wakaf.
f) Menyempurnakan redaksi dan ejaan sesuai dengan ejaan Bahasa
Indonesia yang disempurnakan.
g)
Menyempurnakan teknis percetakan/lay out dan tulisan Arab.
h) Menyesuaikan ejaan dengan SKB 2 Menteri tentang Transliterasi
Arab-Latin.
i)
Penyempurnaan perwajahan al-Qur’an dan Tafsirnya.
63Tim Melengkapi daftar bacaan/bibliografi dan penyusunanya sesuai
dengan tradisi keilmuan[62].
Model penyajian
yang digunakan oleh tafsir ini yaitu di setiap surat dimulai dengan muqaddimah.
Dalam muqaddimah diuraikan mengenai seluk beluk sekitar surat yang akan
ditafsirkan. Dalam surat al-Fatihah misalnya,
secara rinci dan sistematis diuraikan nama-nama surat, tempat diturunkannya
surat, serta jumlah ayatnya. Setelah itu dilanjutkan dengan uraian singkat mengenai
pokok isi surat al-Fatihah[63].
Berkenaan
dengan metode penyampaian tafsir, dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya, diberikan
batasan untuk setiap terjemah, tafsir, dan kesimpulan dengan judul khusus,
sehingga memudahkan pembaca untuk memahaminya. Dalam tafsir ini juga diadakan
pengelompokan ayat-ayat dalam satu surat dengan topik tertentu yang merupakan
tema yang dikandung ayat-ayat yang akan ditafsirkan. Misalnya “Pengetahuan Tentang
Hari Kiamat” untuk QS. Fussilat [41]: 47-4867 dan “Sikap Manusia dalam Menerima
Rahmat dan Cobaan Allah Swt” untuk QS. Fussilat: 49-51.68 Hal ini memudahkan
pembaca untuk menangkap tema ayat yang akan ditafsirkan. Islah Gusmian melihat
bahwa metode ini merupakan salah satu usaha dari tim agar tujuan al-Qur’an
dapat dipahami dengan mudah oleh umat Islam. Hal ini terbukti juga dari adanya
pemberian kesimpulan secara konsisten di setiap akhir kelompok ayat yang
dikaji.
i. Ayat Suci dalam Renungan
Tafsir ini
ditulis oleh Moh. E Hasyim. Sejauh ini belum didapatkan data utuh dari Moh. E
Hasyim, hanya saja penulis memperkirakan ia berasal dari daerah Jawa Barat. Hal
ini dapat dilihat dari kata pengantar yang diberikan oleh KH Miftah Farid[64]
yang menyatakan bahwa Moh. E Hasyim sebelumnya pernah menyusun tafsir berbahasa
Sunda Ayat Suci Lenyepaneun yang banyak dipakai oleh masyarakat muslim Jawa
Barat[65].
Buku ini merupakan tafsir lengkap 30 juz yang ditulis runtut sesuai dengan
urutan dalam mushaf Uthmani.
Setiap volume disesuaikan dengan pembagian juz yang ada dalam mushaf sehingga
buku tafsir ini berjumlah 30 jilid. Sebelum masuk pada kajian tafsir, Hasyim menjelaskan
beberapa hal yang berkaitan dengan makhraj, misalnya tentang makhraj spesifik
Arab, juga huruf Arab yang biasanya ditulis dengan “a” tetapi bersuara “o” dan
lain sebagainya. Model penyaijiannya adalah yang digunakan oleh Hasyim dalam
tafsir ini adalah pertama teks Arab setiap ayat ditulis utuh satu ayat disertai
dengan aksara latin dan terjemah Indonesia. Setelah itu setiap kata ditampilkan
dalam bentuk penggalan kata. Setiap penggalan kata disertai aksara latin dan
terjemah perkata. Setelah menyajikan dua model penyajian terjemah ini baru
dipaparkan penjelasan tentang maksud ayat.
Model penyajian
ini mempunyai keuntungan ganda yaitu pertama model penerjemahan per kata dalam
satu ayat akan membantu pembaca dalam memahami makna setiap ayat. Sementara
yang kedua, model terjemah per ayat akan memudahkan pembaca untuk memahami
maksud ayat[66].
Dari sini dapat dipahami bahwa tafsir ini ditulis dengan penekanan bagaimana
nilai-nilai al Qur‟an dapat tersosialisasi di tengah kehidupan sosial
masyarakat[67].
j. Tafsir Al Mishbah
Penulis tafsir
ini adalah M. Quraish Shihab. Ia lahir di Rappang Sulawesi Selatan tanggal 16
Pebruari 1944. Meraih gelar sarjana Fakultas Ushuluddin tahun 1967, MA dari
jurusan Tafsir-Hadis tahun 1969 dan program doktoral tahun 1982. Semuanya ia
dapatkan dari Universitas al-Azhâr Kairo Mesir. Pada tahun 1992-1998 ia menjadi
rektor IAIN (sekarang menjadi UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun 1998 Ia
diangkat menjadi menteri agama, dan duta besar RI di Mesir. Pada tahun
1989-sekarang ia merupakan anggota dewan pentashih al-Qur’an
dan kini sebagai Direktur Pusat Studi al-Qur’an
(PSQ) Jakarta[68].
Sebelum menulis karya tafsir ini, Quraish Shihab sudah banyak
menulis tafsir al Qur‟an, namun kebanyakan merupakan tafsir tematis. Di
antaranya adalah Membumikan al Qur’an, Lentera Hati, dan Wawasan al
Qur’an. Shihab juga pernah menyusun tafsir tahlîlî dengan metode nuzûlî
yaitu membahasa ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan urutan masa turunnya
surat-surat al-Qur‟an dan sempat diterbitkan oleh Pustaka Hidayah pada tahun
1997 dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Karim. Namun Quraish Shihab
kemudian melihat bahwa karyanya tersebut kurang menarik minat masyarakat, karena
pembahasannnya banyak bertele-tele dalam persoalan kosakata dan kaidah yang
disajikan. Oleh karena itu ia tidak melanjutkan. Kemudian ia menulis dalam
rangka memenuhi kebutuhan masyarakat yang ia beri nama Tafsir al-Mishbah:
Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an[69].
Dari pemberian judul tafsirnya ini dapat diterka perhatian yang
ingin ditekankan oleh Qurasih Shihab dalam tafsirnya ini. Kata al-Mishbah yang
berarti pelita, mengisyaratkan keinginan Shihab untuk mendorong umat Islam agar
menjadikan al-Qur‟an sebagai pelita dalam kehidupannya. Yunan Yusuf menyatakan
bahwa kata al-Mishbah terinspirasi dari tulisan-tulisan Shihab yang pernah
dimuat secara berkala di harian Pelita[70].
Salah satu karya Shihab juga berjudul Lentera Hati yang mempunyai
kesamaan makna dengan pelita dan al-Mishbah kemudian dijadikan nama penerbit
yang dikelola keluarga Shihab. Tafsir al-Mishbah diterbitkan pertama kali tahun
2000 oleh Lentera Hati Jakarta. Pembagian volume tafsir al-Mishbah didasarkan
atas ketuntasan pembahasan surat-surat dalam al-Qur’an, sehingga masing-masing volume mempunyai kuantitas yang berbeda,
tergantung dari banyaknya surat yang dibahas dalam masing-masing volume.
Tercatat sebanyak 15 volume dari tafsir al-Mishbah.
Sesuai dengan
perhatian Shihab terhadap tafsir tematis, maka Tafsir al-Mishbah ini pun
disusun dengan tetap berusaha menghidangkan setiap bahasan surat pada apa yang
disebut dengan tujuan surat atau tema pokok surat[71].
Hal ini dapat disaksikan misalnya ketika mencoba menafsirkan surat al-Baqarah,
Quraish Shihab menjelaskan bahwa tema pokok surat ini adalah ayat yang
membicarakan tentang kisah al-Baqarah, yaitu kisah Banî Israil dengan seekor
sapi. Melalui kisah al-Baqarah ditemukan bukti kebenaran petunjuk Allah,
meskipun pada mulanya tidak bisa dimengerti. Kisah ini juga membuktikan
kekuasaan Allah. Karena itulah sebenarnya surat al-Baqarah berkisar pada betapa
haq dan benarnya ktab suci al-Qur’an dan betapa wajar petunjuknya untuk diikuti
Dalam tafsirnya
ini Quraish Shihab banyak mengambil inspirasi dari beberapa mufasir terdahulu,
di antaranya adalah Ibrahim Ibn Umar al-Biqai (w.885H/1480M), Muhammad Tantawî
pemimpin tinggi al-Azhar, Mutawalli al-Sharawi, Sayyid Qutb, Muhammad Tahir b. Ashur,
dan Muhammad Husayn Tabatabai.
KESIMPULAN
Perkembangan penafsiran al Qur’an di Indonesia agak berbeda dengan
yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al Qur’an dan
sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama
disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa.
Metode
penafsiran tidak terlepas dari metode terjemah dalam rangka memudahkan
pemahaman umat Islam di Indonesia. Dengan kecenderungan penafsiran yang lebih
mengarah pada metode penafsiran tematis, maka kajian tafsir yang berkembang
lebih banyak pada tafsir tematis.
Paling tidak ada empat bentuk karya tafsir yang berkembang di
Indonesia, yaitu terjemah, tafsir yang menfokuskan pada surat atau juz
tertentu, tafsir tematis, dan tafsir lengkap 30 juz.
Tafsir al Qur’an di Indonesia
yang membahas secara lengkap 30 juz sesuai dengan mushaf ustmani
cukup banyak. Hal yang menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya juga merupakan
salah satu ikon peradaban Islam. Karya-karya tafsir tersebut antara lain adalah
Tarjuman Mustafid, Tafsir Munir li Ma‘alim al-Tanzil, Tafsir al-Furqan, Tafsir
Qur’an Hakim, Fayd al-Rahman, Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan, Tafsir
al-Azhar , Al-Qur’an dan Tafsirnya, Ayat Suci dalam Renungan, Tafsir Al
Mishbah.
[1] AL quran 2 (Albaqarah) ;185
[2] Ibid 16;89
[3] Ibid 6;38
[4] Farrid essack. Quranic hermenautic, proplem and prospect. The muslim
world vol LXXXIII. No 2
[5] Nashirudin Baidan, Perkembangan Tafsir alquran di Indonesia ( Solo :
Tiga Serangkai 2003),hal.31
[6] Ibid .33
[7] Howard M Frederspiel,Kajian Tafsir indonesia,terj, Tajul Arifin
(Bandung: Mizan, 1996) hal.129
[8] Karya ini merupakan salah satu proyek yang dimotori oleh depeartemen
agama RI dalam rangka penerjemahan al quran kedalam bahasa indonesia.
[9] Karya ini merupakan penerjemeahan secara puitis kedalam bahasa
indonesia.
[10] Karya ini membehasa surat al fatihah dikaitkan dengan berbagai
penemuan ilmiah modern. Lihat bey arifin samudra al fatihah (Surabaya : Arini
1972)
[11] Lihat Islah Guzmian, Khazananh tafsir, 66-68
[12] Radiks Purba, Memahami Surat Yasin (Jakarta: Golden terayon Press,
1998)
[13] Lihat Gusmian, Khazanah Tafsir 66-68. Rafi‟udin dan KH. Edham
Rifa‟i, Tafsir Juz Amma Disertai Asbabun Nuzul (Jakarta: Pustaka Dwi
Par, 2000).
[14] Lihat Gusmian, Khazanah Tafsir, 66-68. Rafi‟udin dan KH. Edham
Rifa‟i, Tafsir Juz Amma Disertai Asbabun Nuzul (Jakarta: Pustaka Dwi
Par, 2000).
15Ayat dan surat yang dipilih tampaknya didasarkan pada ayat maupun surat
yang mempunyai riwayat bi al-ma’thûr sebagai sabab al-nuzûl, di
antaranya adalah al-Fâtih}ah [1]: 1,
al-Baqarah [2]:19-20, 75-78, al-„Adiyat [100]: 1-5, Maryam [19]: 1-6, al-Qadr
dan al-Lihat Jalaluddin Rakhmat, Tafsir bil Ma’tsur Pesan Moral al-Qur’an (Bandung:
Rosdakarya, 1993).
16 Buku ini merupakan kumpulan ceramah Quraish pada acara tahlilan di
kediaman mantan presiden Suharto dalam rangka mendo‟akan Fatimah Siti Hartinah
Suharto tahun 1996, ditambah dengan penafsiran ayat-ayat yang dibaca dalam
tahlilan yaitu surat al-Fâtih}ah, al-Baqarah:
1-5, Ayat Kurshî (QS al-Baqarah [2]: 255), akhir surat al-Baqarah (2: 284-286),
al-Ikhlâs}, al-Falaq, dan
al-Nâs
[17] Karya ini merupakan kumpulan kajian serius yang ditulis oleh Dawam
Raharjo dalam Jurnal „Ulumul Qur‟an tahun 1990-an. Lihat M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi
al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1996).
[18] Buku Tafsir ini berawal dari artikel-artikel tafsir yang ditulis oleh
Syu‟bah Asa dalam majalah Panji Masyarakat antara tahun 1997-1999
[19] Gusmian, Khazanah Tafsir, 69 -97
[20] Karya ini berasal dari Disertasi Cawidu di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 1989.
[21] Karya ini berasal dari Disertasi Rahman di Pasca Sarjana IAIN Jakarta.
[22] Karya ini berasal dari Disertasi Asy‟arie di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
[23] Karya ini berasal dari Tesis Machasin di IAIN Yogyakarta dengan judul Kebebasan
dan Kekuasaan Allah dalam Al-Qur’an
[24] Karya ini berasal dari Disertasi Ghalib di IAIN Jakarta dengan judul Wawasan
Al-Qur’an tentang Ahl Kitab tahun 1997
[25] Buku ini berasal dari Disertasi Nasaruddin Umar di IAIN Jakarta dengan
judul Perspektif Jender dalam Al-Qur’an. Lihat Nasaruddin Umar, Argumen
Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Paramadina,1999).
[26] Lihat Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi: Upaya Penggalian
Konsep Wanita dalam Al-Qur’an (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999
[27] Karya ini berasal dari Disertasi Zaitunah di Pasca sarjana IAIN
Jakarta. Lihat Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Jender dalam
Tafsir (Yogyakarta: LkiS, 1999).
[28] Karya ini berasal dari Skripsi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dengan judul Konsep Cinta dalam Al-Qur’an
[29] 31Karya
ini berasal dari Disertasi dengan judul Konsep Nafs dalam Al-Qur’an di
Pascasarjana IAIN Jakarta
[30] Karya ini mengkaji berbagai fenomena angka yang ada di dalam al Qur‟an
dihubungkan dengan ilmu matematika dan penemuan ilmiah modern. Lihat Muhamad
Mas‟ud, Subhanallah: Quantum Bilangan-bilangan al-Qur’an (Yogyaarta:
Diva Press, 2008).
[31] Tim Penyusun, Ensikopedi Islam, Vol. I (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoove, 1997), 29.
[32] Lihat juga Salman Harun, “Hakekat Tafsir Tarjuman al-Mustafid Karya
Syekh Abdurrauf Singkel” (Disertasi--IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,1988), 44
dan 281.
[33] M{uhammad H{usayn al-Dhahabî, al-Tafsîr wa
al-Mufassirûn, Vol. 3 (Kairo: Dâr al-Kutub al-H{adîthah, 1961), 295-304
[34] Baidan, Perkembangan Tafsir, 68.
[35] Muhammad Nawawi Banten, Marâh}
Labîd Tafsîr al-Nawawî (t.tp:
al-Maktabah al-Uthmânîyah, 1305), 3.
[36] Ibid.
[37] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol. 1, 97-98.
[38] Herry Mohammad dkk. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta:
Gema Insani Press, 2006), 85-86. Lihat juga Saiful Amin Ghofur, Profil Para
Mufassir (Yogyajarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 197
[39] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol. 5, 214-215.
[40] Baidan, Perkembangan Tafsir, 89.
[41] Mishbahus Surur, “Metode dan Corak Tafsir Faidh ar-Rahman Karya
Muhammad Shaleh Ibn Umar As-Samarani” (Skripsi--IAIN WaliSongo Semarang, 2011),
27.
[42] Surur, “Metode dan Corak Tafsir Faidh ar-Rahman”, 33.
[44] Abd. Jalal, “Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur: Sebuah
Studi Perbandingan” (Disertasi--IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1985), 200
[45] TM Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1999), 379.
[46] 49Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan orang pertama yang menghimbau perlunya dibina fikih
berkepribadian Indonesia. Gagasan ini dilontarkan pada tahun 1940 dan
dipertegas kembali tahun 1960. Cetusan ini menimbulkan rekasi dan polemik dari
para ulama Indonesia pada masa itu. Lihat Disertasi Ilmiah 4: Tafsir al
Bayan oleh Prof. Dr. TM Hasbi Ash-Shiddieqy http://disertasi.blogspot.com.
28 Juni 2007/diakses 16 Januari 2012.
[47] Di antara karya-karyanya adalah al-Islam, Kriteria antara Sunnah
dan Bid’ah, Mutiara hadith, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadith, Fiqhul Mawarith,
Tafsir al-Nur, Tafsir al-Bayan, Pedoman Shalat dan Pedoman Puasa. Ibid
[48] Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Bayan, Vol. 1 (Bandung: PT. Al
Am‟arif, t.th), 7
[49] Prof. Dr. TM Hasbi
Ash-shiddieqy, http://disertasi.blogspot.com. 28 Juni 2007/diakses 16 Januari
2012
[50] Ibid
[51] Tafsir al-Bayan, http://disertasi.blogspot.com/diakses 16 Januari
2012.
[52] Ash Shiddieqy, Tafsir al-Bayan, Vol. 1, 214.
[54] M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar (Jakarta:
Pustaka Panji Mas, 1990), 53.
[55] HAMKA, Tafsir al-Azhar, Vol. 1, (Jakarta: PT. Pembimbing Masa,
1967), 43-45.
[57] Yusuf, Corak Pemikiran Kalam, 53. Islah Gusmian menyatakan
bahwa kajian tafsir ini diterbitkan oleh majalah Gema Islam. Lihat Islah
Gusmian, Khazahan Tafsir, 65.
[58] Tafsir al Azhar, http://disertasi.blogspot.com./diakses 16 Januari
2012
[59] Baidan, PerkembanganTafsir, 106.
[60] Tim Badan Wakaf UII., Al-Qur’an dan Tafsirnya (Yogyakarta: UII,
1995), ix.
[61] Al-Qur’an dan Tafsirnya selesai ditulis pertama kali oleh Tim
yang diketuai oleh Prof. KH Ibrahim Husein LML. Dalam satu dasawarsa, tafsir
ini telah dicetak sebanyak 5 kali. Naskah tafsir juga telah mengalami perbaikan
sedikitnya dua kali, yaitu tahun 1985 dan 1990. Perbaikan tahun 1990 dilakukan
oleh Tim Tafsir sebagaimana disebutkan di atas. Lihat Ibid.
[63] Gusmian, Khazahan Tafsir, 125.
[64] KH Miftah Farid adalah seorang dai kondang yang berasal dari Jawa
Barat
[65] Gusmian, Khazahan Tafsir, 84
[66] Ibid., 124.
[67] Ibid., 237
[68] M. Quraish Shihab, Logika Agama (Jakarta: Lentera hati, 2005).
[69] Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, Vol. 1 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), viii-ix
[70] Disampaikan pada salah satu sesi tutorial bagi peserta Pendidikan
Kader Mufasir angkatan V yang diselenggarakan oleh Pusat Studi al-Qur‟an
Jakarta tahun 2011, di mana penulis merupakan salah satu pesertanya
[71] Ibid.
No comments:
Write comments