Wednesday, March 1, 2017

Corak Tafsir di Indonesia



Al-Qur’an yang dalam pandangan kaum muslimin sepanjang abad merupakan kalam Allah, menyebut dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia”[1] dan memberikan “penjelasan atas segala sesuatu”[2] sedemikian rupa sehingga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas yang salah dari penjelasannya[3]. Karena fungsinya sebagai petunjuk bagi manusia, maka dari generasi ke generasi, umat Islam terus berusaha untuk memahami kandungan al-Quran dan menyampaikan kembali hasil-hasilnya. Pemahaman tersebut dalam berbagai karya tafsir dengan tujuan agar bisa dijadikan sebagai referensi bagi umat Islam dalam upaya menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk dalam kehidupannya.

Bila diasumsikan bahwa kandungan al Qur’an bersifat universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu[4]. Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai dengan kondisi sosio historisnya, Indonesia juga mempunyai perkembangan tersendiri dalam kaitannya dengan proses untuk memahami dan menafsirkan al Qur’an yang berbeda dengan negara-negara berpenduduk muslim lainnya. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Hal ini tentu juga mempunyai korelasi signifikan dengan kebutuhan akan pemahaman yang benar tentang al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam kehidupan seorang muslim. Artikel ini mencoba untuk membahas perkembangan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Hanya saja, karena banyaknya karya-karya tafsir yang ada di Indonesia, maka artikel ini akan menjelaskan secara lebih rinci pada tafsir lengkap 30 juz, sedangkan karya tafsir yang bersifat tematis, maupun yang hanya menfokuskan pada surat-surat tertentu akan penulis ulas secara lebih singkat sehingga diharapkan kajian ini akan mencakup keseluruhan karya tafsir yang ada di Indonesia secara komprehensif namun padat isi.
PEMBAHASAN
A.    Perkembangan Penafsiran di Indonesia
Perkembangan penafsiran al Qur’an di Indonesia agak berbeda dengan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Kajian tafsir di dunia Arab berkembang dengan cepat dan pesat, karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk memahami al-Qur’an. Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia.
Proses pemahaman al-Qur’an di Indonesia terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu, maka dapat dipahami jika penafsiran al Qur’an di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan di tempat asalnya[5]. Nashruddin Baidan menyatakan bahwa kajian tafsir sebetulnya telah ada semenjak masa Maulana Malik Ibrahim, akan tetapi masih bersifat embriotik integral, yaitu masih bersifat lisan dan diberikan secara integral bersamaan dengan bidang lain seperti fikih, akidah, dan tasawuf. Metode yang digunakan adalah metode ijmali dan coraknya masih umum, dengan arti tidak didominasi pemikiran tertentu dan bersifat praktis tergantung kebutuhan masyarakat saat itu[6].
Dari segi generasi, Howard M. Federspiel pernah melakukan pembagian kemunculan dan perkembangan tafsir al Qur’an di Indonesia ke dalam tiga generasi. Generasi pertama dimulai sekitar awal abad XX sampai dengan tahun 1960-an. Era ini ditandai dengan penerjemahan dan penafsiran yang didominasi oleh model tafsir terpisah-pisah dan cenderung pada surat-surat tertentu sebagai obyek tafsir. Generasi kedua, muncul pada pertengahan 1960-an, yang merupakan penyempurnaan dari generasi pertama yang ditandai dengan adanya penambahan penafsiran berupa catatan kaki, terjemahan kata per kata dan kadang disertai dengan indeks sederhana. Tafsir generasi ketiga, mulai tahun 1970-an, merupakan penafsiran yang lengkap, dengan komentar-komentar yang luas terhadap teks yang juga disertai dengan terjemahnya[7].
Kesimpulan yang dikemukakan oleh Federspiel ini tidak sepenuhnya benar, fakta menunjukkan bahwa pada periode pertama sudah ada karya tafsir yang sudah merupakan penafsiran lengkap seperti Tarjuman al Mustafid karya Abd al-Rauf Singkel dan Marah Labid karya Shaykh Muh ammad Nawawi. Demikian juga pada periode kedua sudah terdapat tafsir lengkap 30 juz dengan komentar yang luas seperti tafsir al Azhar karya Hamka. Hanya saja, secara umum, karya yang ada memang cenderung seperti yang dikemukakan oleh Federspiel.
Pada dekade terakhir, tafsir di Indonesia banyak yang mengarah pada tafsir tematik. Hal ini banyak dipelopori oleh Quraish Shihab, yang banyak menghasilkan beberapa buku tafsir tematik seperti Membumikan al Qur’an, Lentera Hati, dan Wawasan al Qur’an. Kecenderungan ini kemudian diikuti oleh para penulis yang lain dan makin disemarakkan dengan berbagai kajian tematik dari tesis dan disertasi di berbagai perguruan tinggi Islam.
B.     Karya Tafsir di Indonesia
Paling tidak ada empat bentuk karya tafsir yang berkembang di Indonesia, yaitu terjemah, tafsir yang menfokuskan pada surat atau juz tertentu, tafsir tematis, dan tafsir lengkap 30 juz.

1. Terjemah
Terjemah al-Qur’an pada dasarnya juga melibatkan unsur tafsir, yaitu pemahaman dan interpretasi terhadap ayat-ayat al Qur’an meskipun dalam bentuk yang sederhana, terlebih di dalamnya juga disertai dengan catatan kaki tentang makna satu ayat. Terjemah juga memainkan peran strategis dalam pemahaman umat Islam di Indonesia terhadap al-Qur’an, karena bahasa Arab bukan bahasa ibu bagi masyarakat Indonesia, sehingga proses pemahaman mayoritas umat Islam di Indonesia terlebih dahulu berangkat dari karya-karya terjemah al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karya tafsir generasi awal seperti Tafsir al-Bayan dan Tafsir al-Furqan, jika dibandingkan dengan karya generasi berikutnya, lebih bercorak terjemah. Karena perannya yang sangat strategis, maka dapat dipahami jika terjemah al-Qur’an juga masih terus berlanjut sampai sekarang.
Karya terjemah al-Qur’an yang dihasilkan antara lain al-Qur’an dan Terjemahnya oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemahan al-Qur’an Departemen Agama RI tahun 1967[8], Al-Qur’an dan Terjemahannya oleh Redaksi Penerbit Bahrul Ulum pimpinan H. Bahtiar Surin, al-Qur’an Bacaan Mulia tahun 1977 oleh H. B. Jassin[9], dan al-Qur'ân dan Maknanya oleh M. Quraish Shihab.
2. Tafsir yang Menfokuskan Diri Pada Ayat, Surat, atau Juz Tertentu
Kecenderungan lainnya dalam tafsir di Indonesia adalah tafsir yang menfokuskan pada ayat atau surat tertentu. Surat yang menjadi kecenderungan umum untuk ditafsirkan antara lain surat al-Fatihah, Yasin dan surat-surat pada juz ke-30 (Juz Amma). Hal ini dapat dimaklumi, karena surat al-Fatihah, surat Yasin dan surat-surat dalam Juz Amma merupakan surat-surat yang cukup familiar bagi masyarakat bangsa Indonesia.
Karya tafsir yang menfokuskan pembahasan pada surat al-Fatihah antara lain adalah Tafsir al-Qur’anul Karim Surat al-Fatihah karya Muhammad Nur Idris, Rahasia Ummul Qur’an atau Tafsir Surat al-Fatihah karya A. Bahry, Kandungan al Fatihah, karya Bahroem Rangkuti, Tafsir Surat al Fatihah karya H Hasri, Samudra al Fatihah karya Bey Arifin[10], Tafsir Ummul Qur’an karya M Abdul Malik Hakim, Butir-butir Mutiara al Fatihah karya Labib MZ dan Maftuh Ahnan, Risalah Fatihah karya A Hassan, Mahkota Tuntunan Ilahi karya M Quraish Shihab, dan Tafsir Sufi Surat al Fatihah karya Jalaluddin Rakhmat[11].
Karya tafsir yang membahas tentang surat Yasin antara lain adalah Tafsir al-Qur’anul Karim, Yaasin Karya Adnan Lubis, Tafsir Surat Yasien dengan Keterangan karya A. Hassan, Tafsir Surah karya Zainal Abidin Ahmad, Kandungan Surat Yasin karya Mahfudli Sahli, Memahami Surat Yaa Sin[12].
Karya tafsir yang menfokuskan pembahasan pada juz amma (juz 30) antara lain adalah : al-Burhan, Tafsir Juz Amma karya H. Abdul Karim Amrullah, al-Hidayah Tafsir Juz Amma karya A. Hassan, Tafsir Djuz Amma karya Adnan Yahya Lubis, Tafsir al-Qur’anul Karim Djuz Amma karya Zuber Usman, Tafsir Juz Amma dalam Bahasa Indonesia Karya Iskandar Idris, Al-Abroor, Tafsir Djuz ‘Amma Karya Mustafa Baisa , Tafsir Juz Amma dalam Bahasa Indonesia karya M. Said, Juz ‘Amma dan Makna karya Gazali Dunia dan Tafsir Juz Amma Disertai Asbabun Nuzul karya Rafi’udin S.Ag dan Drs. KH. Edham Rifi’i[13].
Karya lain yang menfokuskan diri pada ayat dan surat tertentu adalah Tafsir bil Ma’tsur Pesan Moral al-Qur’an karya Jalaluddin Rakhmat[14], Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil[15] dan Tafisr Al-Lubab karya M. Quraish Shihab, dan Tafsir Hijri, Kajian Tafsir Al Qur’an Surat An Nisa karya KH Didin Hafidhuddin[16].
3. Tafsir Tematis
Karya tafsir yang bercorak tematis, sebetulnya sudah ada sejak masa pra kemerdekaan. Hal ini diperkuat dengan adanya temuan tafsir yang berjudul Kitab Faraid al-Qur’an, yang mengkaji tentang hukum waris pada surat al-Nisa’ ayat 11 dan 12,18 akan tetapi karya tafsir model ini baru berkembang pesat di era 80 an, dipelopori oleh Quraish Shihab yang diikuti oleh para penulis lainnya dan makin disemarakkan dengan berbagai kajian tematik dari tesis dan disertasi di berbagai perguruan tinggi Islam. Ada dua model karya tafsir tematik yang berkembang di Indonesia yaitu tematik plural yang membahas berbagai tema persoalan dan tematik singular yang membahas satu topik bahasan tertentu. Model kedua, sebagian besar berasal dari karya disertasi.
Karya tafsir tematis plural antara lain adalah Membumikan al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992), Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994), Wawasan al-Qur’an (1996), dan Membumikan al Qur’an 2 karya Quraish Shihab, Ensiklopedi al-Qur’an karya M. Dawam Raharjo[17], Dalam Cahaya al- Qur’an: Tafsir Sosial Politik al-Qur’an karya Syu‟bah Asa[18],dan Tafsir Tematik al Qur’an tentang Hubungan Sosial antar Umat Beragama karya Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah[19].
Sedangkan karya tafsir tematik singular antara lain adalah Konsep Kufr dalam al Qur’an: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tematis karya Harifuddin Cawidu[20], Konsep Perbuatan Manusia Menurut al Qur’an: Sebuah Kajian Tematik karya Jalaluddin Rahman[21], Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an (1992) karya Musa Asy’arie[22], Menyelami Kebebasan Manusia: Telaah Kritis terhadap Konsepsi al-Qur’an (1996) karya Machasin[23], Ahl Kitab: Makna dan Cakupannya (1998) karya Muhammad Ghalib Mattalo[24], Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an (1999) karya Nasaruddin Umar[25], Tafsir bi al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam al-Qur’an (1999) karya Nashruddin Baidan[26], Tafsir Kebencian: Studi Bias Jender dalam Tafsir (1999) karya Zaitunah Subhan[27] Memasuki Makna Cinta (2000) karya Abdurrasyid Ridha[28], Jiwa dalam al-Qur’an: Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern (2000) karya Achmad Mubarok[29], Subhanallah: Quantum Bilangan-bilangan al-Qur’an (2008) karya Muhamad Mas’ud[30], Wawasan al-Qur'an Tentang Dzikir dan Doa; Asma’ al-Husna: Dalam Perspektif al-Qur'an, Jin dalam al-Qur’an, Malaikat dalam al-Qur’an dan Syetan dalam al-Qur’an, karya M. Quraish Shihab.
4. Tafsir Lengkap 30 Juz
Tafsir al Quran di Indonesia yang membahas secara lengkap 30 juz sesuai dengan mushaf ustmani cukup banyak. Hal yang menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya juga merupakan salah satu ikon peradaban Islam. Karya-karya tafsir tersebut antara lain adalah :
a. Tarjuman Mustafid
Tafsir ini disusun oleh Abd al-Rauf Singkel. Ia lahir di Singkel pada tahun 1035 H/1615 M dan wafat di Banda Aceh pada tahun 1105 H/1693 M. Nama aslinya adalah Abd al-Rauf al-Fansuri. Ia adalah seorang ulama dan tokoh dari Aceh yang pertama kali membawa ajaran tarekat Sattariyah di Indonesia. Pada sekitar tahun 1064 H/1643 M, ia menuntut ilmu ke Arab dan mengunjungi pusat pendidikan agama di sepanjang jalur perjalanan haji antara Yaman dan Mekah. Kemudian, ia bermukim di Mekah dan Madinah untuk menambah ilmu al-Qur’an, hadis, fikih, tafsir, dan tasawuf. Ia juga belajar tarekat Sattariyah pada Ahmad Qusasi (1583-1661 M) dan Ibrahim al-Qur’an. Ia kembali ke Aceh pada sekitar tahun 1662 M dan mengembangkan tarekat ini.
Abd al-Rauf Singkel ini pernah menjadi mufti kerajaan Aceh pada masa Sultanah S afiat al-Din Taj al-Alam. Ia juga seorang ulama yang produktif dalam menulis. Hal ini dapat dilihat dari karyanya yang berjumlah sekitar 21 buku yang terdiri dari 1 kitab tafsir yang berjudul Tarjuman al-Mustafid, 2 kitab hadis, 3 kitab fikih, dan sisanya kitab tasawuf[31].
Kitab Tarjuman al-Mustafid ini ditulis dengan bahasa Melayu dan lengkap 30 juz sampai surat al-Nas. Kitab ini bukanlah murni karya Shaykh Abd al-Rauf Singkel, tetapi sudah ditambah oleh muridnya yang bernama Dawud Rumi berupa kisah-kisah dan perbedaan qira’at dengan persetujuan Abd al-Rauf Singkel selaku gurunya. Banyak pengamat menyatakan bahwa kitab ini merupakan terjemah Tafsir al-Bayd awi. Tetapi beberapa pengamat lain, seperti Peter Riddel dan Salman Harun berpendapat bahwa secara umum kitab ini merupakan terjemah Tafsir al-Jalalayn, dengan tambahan rujukan pada Tafsir al-Bayd awi, Tafsir al-Khazin, dan beberapa kitab tafsir lainnya[32].
Jika melihat rujukan yang dipakai dalam penyusunan kitab ini, baik Tafsir al-Bayd awi maupun Tafsir al-Jalalayn yang didominasi oleh ra’y[33], maka Tarjuman al-Mustafid juga merupakan kitab tafsir bi al-ra’y, dengan metode tahlili (analitis), meskipun belum mencakup semua aspek yang terkandung dalam suatu ayat. Hal ini dapat kita lihat ketika menafsirkan QS. al-Fatihah [1]: 4, Malik yawm al-din, Abd al-Rauf Singkel mengemukakan perbedaan antara satu qira’at dengan qira’at yang lain. Ia juga menyebutkan asbab al-nuzul ayat, seperti terlihat pada awal surat mu‘awwidhatayn.
Tafsir ini menggunakan corak umum, karena ia mencakup berbagai masalah bahasa, fikih, tasawuf, filsafat, dan adab ijtima’i. Hal ini dapat dimaklumi, karena Abd al-Rauf adalah seorang ulama yang ahli dalam berbagai bidang keilmuan, seperti fikih, tasawuf, filsafat, tauhid, sejarah, falak, ilmu bumi, dan politik[34].
b. Tafsir Munir li Ma‘alim al-Tanzil
Tafsir al-Munir ditulis oleh Shaykh Muhammad Nawawi. Proses penulisan pertama kali dimulai pada tahun 1860-an dan selesai pada hari Selasa malam Rabu 5 Rabiul Awal 1305 H (1884 M), yang berarti proses penggarapannya berlangsung selama 15 tahunan. Sesuai dengan kebiasaannya dalam menulis, Shaykh Nawawi menyodorkan karya tafsirnya itu kepada ulama-ulama Mekkah untuk diteliti terlebih dahulu sebelum dicetak. Percetakan ulang yang dilakukan di Kairo terdiri dari dua jilid dengan kira-kira 500 halaman tiap jilidnya. Jilid yang pertama dimulai dari surat al-Fatihah sampai dengan asal surat al-Kahf, sedangkan jilid dua dimulai dari lanjutan surat al-Kahf sampai dengan surat al-Nas.
Terdapat tiga nama yang diberikan Shaykh Nawawi pada tafsirnya cetakan Beirut yang diterbitkan tahun 1981, yaitu Marah Labid, Tafsir al Nawawi dan al-Tafsir al-Munir li Ma'alim al Tanzîl. Dalam kata pengantarnya, ia mengutarakan bahwa karya tasfirnya ini dibuat untuk memenuhi permintaan beberapa koleganya, meskipun awalnya ia sempat merasa ragu, karena adanya hadist yang mengecam orang yang menafsirkan al-Qur’an sesuai pendapat pribadinya. Oleh karena itu, ia mengikuti model pendahulunya untuk melestarikan pengetahuan, bukan untuk memberi tambahan terhadapnya. Ia menunjukkan bahwa setiap zaman butuh penyegaran pengetahuan, dan menutup karyanya dengan berkata, “Semoga usaha (dalam menghasilkan) karya ini dapat membantu saya, dan kepada semua yang awam pengetahuannya seperti saya”[35].
Sumber tafsir yang dijadikan rujukan, antara lain Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas karya Abu Tahir Muhammad b. Yaqub, Irshad al-‘Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim karya Abu al-Suud al-Hanafi, al-Siraj al-Munir karya al-Khatib al-Sharbini, Mafatih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Razi dan al-Futuhat al-Ilahiyah karya Sulayman b. Umar[36]. Tafsir ini bisa dikategorikan sebagai tafsir ijmali, karena penjelasan yang relatif singkat, ringkas dan terkesan tidak analitis, dan jika dipandang dari sumber penafsirannya, merupakan tafsir bi al ra'y, dikarenakan sedikitnya periwayatan yang digunakan dibandingkan dengan dominasi penafsiran dari hasil ijtihad Syeikh Nawawi sendiri.
c. Tafsir al-Furqan
Tafsir ini ditulis oleh A. Hassan. Ia lahir di Singapura pada tahun 1883 dan wafat di Bangil pada tahun 1958. Nama aslinya adalah Hassan b. Ahmad, tetapi kemudian terkenal dengan sebutan Hassan Bandung, dan ketika pindah ke Bangil disebut juga Hassan Bangil. Ayahnya, Ahmad, adalah seorang penulis dan wartawan yang memimpin majalah bulanan Nurul Islam di Singapura, dan Ibunya, Maznah, berasal dari Madras, India dan masih keturunan Mesir.
Hassan berguru kepada Haji Ahmad Kampung Tiung, Haji Muhammad Taib Kampung Rokoh, Said Abd Allah al-Munawi al-Mawsili, Abd al-Latif, Haji Hasan, dan Shaykh Ibrahim India. Ia juga dikenal sebagai seorang yang terampil dalam bertenun dan tukang kayu. Di tengah kesibukannya dalam mengajar dan berwirausaha, ia telah banyak menghasilkan banyak karya, di antaranya Soal Jawab, Tafsir al-Furqan, Pengajaran Salat, al-Faraid, al-Tawhid, Terjemah Bulugh al-Maram, dan lain-lain[37]. Tafsir ini disusun lengkap 30 juz dan runtut, dimulai dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas. Tafsir ini bisa dikategorikan tafsir bi al-ra’y dengan bukti adanya upaya pembahasan ayat-ayat yang dikategorikan mutashabihat seperti huruf-huruf muqatta‘ah di awal surat. Adapun metode yang digunakan adalah metode ijmali. Bahkan tafsir ini lebih menyerupai terjemah, bukan tafsir dalam pengertian yang rinci, karena penafsiran suatu ayat itu hanya merupakan catatan kaki. Hal ini sejalan dengan penuturan Ahmad Hassan dalam pendahuluan tafsirnya bahwa tafsirnya ini disusun sedemikian untuk mempermudah masyarakat memahami makna al-Qur’an.
d. Tafsir Qur’an Hakim
Tafsir ini ditulis oleh Mahmud Yunus yang lahir pada tanggal 10 Februari 1899 M/30 Ramadhan 1316 H, di desa Sunggayang, Batusangkar, Sumatra Barat. Mahmud Yûnus tumbuh dikalangan keluarga yang taat beragama. Ayahnya bernama Yunus b. Incek, seorang pengajar di Surau dan Ibunya Hafsah bint Imam Samiun adalah anak Engku Gadang M. Tahir bin Ali, pendiri serta pengasuh surau si wilayah tersebut[38].
Mahmud Yunus berguru kepada kakeknya, M. Tahir (Engku Gadang) dan setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1923, ia belajar ke Mesir pada Universitas al-Azhar dan Dar al-Ulum Ulya Kairo sampaitahun 1930. Ia juga seorang aktifis organisasi Majlis Islam Tinggi Minangkabau dan Pemuda-Pemuda Bekas Gyugun yang didirikan Jepang. Di sela kesibukannya dalam kedua organisasi inilah, ia menyusun tafsirnya. Ia mendapat gelar doktor honoris causa dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta[39]. Mahmud Yûnus memulai penulisan kitab tafsirnya ini bulan Nopember 1922 dan berhasil menyelesaikan tahun 1938. Sebelum menjadi satu jilid, tafsir ini dengan susah payah berhasil diterbitkan secara berjuz-juz tiap bulan. Sedang proses penerjemahannya, Mahmud dibantu oleh H. M. K. Bakry tepatnya pada juz 7 s/d 18. Kitab ini juga populer dengan sebutan karya pelopor dikarenakan kitab ini merupakan tafsir Indonesia pertama yang berbahasa Indonesia secara utuh sedang penafsiran-penafsiran sebelumnya masih menggunakan bahasa Arab Melayu (Arab Jawi). Kitab ini terdiri dari dua jilid yaitu pertama satu jilid tamat dari juz 1 sampai dengan 30, kedua, tiga jilid, pertama dari juz 1 sampai dengan juz 10, jilid kedua dari juz 11 sampai dengan 20, jilid ketiga dari juz 21 sampai dengan 30. Tafsir al-Qur’an ini sistematika penafsirannya sama seperti isi al-Qur’an dan terjemahan di samping kanan ayat (setiap ayat) kemudian terjemahannya dibawahnya terdapat penafsiran. Sistematika penafsiran Mahmud Yunus menafsirkan seluruh ayat sesuai susunannya dalam mushaf al-Qur’an ayat demi ayat, surat demi surat, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah al-Nas. Maka secara sitematika penafsiran tafsir ini menempuh tartib mushaf. Dilihat dari metodenya, tafsir ini termasuk menggunakan metode ijmali, tetapi lebih rinci dari tafsir sebelumnya. Meskipun demikian, dalam beberapa penafsiran, tafsir ini juga bersifat analitis (tahlili), hanya saja jumlahnya sangat sedikit. Tafsir ini bersandar kepada ra’y dan tidak nampak kecenderungannya pada kajian tertentu.
Nasruddin Baidan memberikan nilai plus pada kitab ini, karena kitab ini berbeda dengan lima kitab lain pada masanya. Kelebihan yang dimiliki kitab ini yang tidak ada di kitab-kitab lain pada periodenya adalah adanya pemikiran ulama Indonesia yang juga dilibatkan oleh Mahmud dalam menafsirkan ayat al-Qur’an tepatnya pada penafsiran ayat tentang kewajiban menutup aurat bagi perempuan pada QS. al-Nur [24]: 31.42[40].

e. Fayd al-Rahman
Penulis tafsir ini adalah Muhammad Shaleh b. Umar al-Samarani. Lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong Kab. Jepara Jawa Tengah sekitar tahun 1235 H/1820 M. Ayahnya adalah Kiai Umar, salah seorang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Sering disebut dengan Kiai/Mbah Shaleh Darat, karena ia tinggal di kawasan yang disebut “Darat”, yaitu daerah dekat pantai utara Semarang, tempat mendarat orang-orang dari luar Jawa[41].
Pendidikan pertama diperoleh di daerahnya sendiri serta beberapa daerah di Jawa seperti Waturoyo Kajen Margoyoso Pati, di Kudus, di Desa Bulus Gebang dan di Semarang. Berikutnya ia beserta ayahnya pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji. Ayahnya wafat di Mekkah, sedangkan K. Shaleh Darat terus menetap di sana untuk menuntut ilmu. Hanya saja tidak diketahui tahun berapa ia pergi ke Mekkah dan tahun berapa ia kembali. KH Saleh Darat wafat di Semarang hari Jum’at Legi 28 Ramadhan 1321H/18 Desember 1903 M.
Menurut keterangan Kiai Shaleh Darat, penulisan Fayd al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik al-Dayyan ini dilatarbelakangi oleh keinginan dirinya untuk menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa sehingga orang-orang awam pada masa itu bisa mempelajari al-Qur’an, karena saat itu orang-orang tidak bisa bahasa Arab. Selain itu, sebagai jawaban atas kegelisahan RA Kartini, karena pada waktu itu, tidak ada ulama yang berani menerjemahkan al-Qur’an dalam bahasa Jawa karena al-Qur’an dianggap terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun termasuk penerjemahan dan penafsiran al-Quran dalam bahasa Jawa[42].
Dalam Tafsir Fayd al-Rahman, pembahasan dimulai dengan mengarahkan keterangan tentang identitas surat yang meliputi sejarah turunnya sebuah surat, kemudian melanjutkannya dengan penjelasan tentang nama surat, tujuan surat dan jumlah ayat-ayat. Dalam menafsirkan ayat demi ayat, Kiai Shaleh Darat terlebih dahulu mengalih bahasa, menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa (Arab Pegon), berdasarkan pemahamannya dengan berpedoman pada Tafsir Jalalayn karya Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuti, al-Tafsir al-Kabir karya al-Razi, Lubab al-Ta’wil karya al-Khazin, dan Tafsir Imam al-Ghazali. Tafsir Fayd al-Rahman, merupakan tafsir ishari yang bercorak tasawwuf.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh penafsirannya di antaranya pada penafsiran QS. al-Baqarah [2]: 219, KH. Saleh Darat menyatakan tafsir ishari ayat tersebut sebagai berikut: Khamar hakekatnya terbuat dari beberapa jenis yaitu anggur, kurma, dan anggur kering. Sedangkan khamar secara batin terbuat dari beberapa jenis hal yaitu syahwat, hawa, rasa lupa, dan cinta dunia. Jadi khamar batin itu bisa memabukkan pada nafsu dan memabukkan pada akal insânîyah, dan jika meminum khamar batin itu merupakan dosa besar[43].
f. Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan
Penulis tafsir ini adalah Teungku Muhammad Hasbi b. Muhammad Husein b. Muhammad Masud b. Abd al-Rahman Ash-Shiddieqy. Dilahirkan pada bulan Jumad al-Akhîr 1321H/10 Maret 1907 M di Lho Seumawe + 273 km sebelah timur Banda Aceh. Hasbi Ash-Shiddieqy menuntut ilmu dari para ulama di beberapa pondok pesantren terkenal di Dayah, Blangkabu, Gendong, Krueng Mane, Kutaraja dsb[44]. Dari silsilahnya diketahui bahwa ia adalah keturunan ke-37 dari Abu Bakr al- Siddiq[45].
T.M Hasbi ash Shiddieqy merupakan seorang ulama Indonesia yang terkenal. Ia memiliki keahlian dalam bidang ilmu fikih dan usul fikih[46], tafsir, hadis, dan ilmu kalam[47]. T.M Hasbi ash Shiddieqy telah dianugerahkan dua gelar Doktor Honoris Causa sebagai penghargaan di atas jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan Tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman Indonesia. Anugerah tersebut diperoleh dari Universitas Islam Bandung dan (UNISBA) pada 22 Maret 1975, dan dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 29 Oktober 1975. Hasbi Ash-Shiddieqy meninggal dunia pada tanggal 9 Desember 1975. Jasadnya dikebumikan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta.
Pertama kali Hasbi Ash-Shiddieqy menyusun Tafsir al-Nur yang diterbitkan pada tahun 1956. Namun karena tidak puas, T.M Hasbi ash Shiddieqy menyusun al-Bayan. Pada muqaddimah Tafsir al-Bayan, Hasbi Ash-Shiddieqy menulis: “Dengan inayah Allah Ta’ala dan taufiq-Nya, setelah saya selesai dari menyusun Tafsir al-Nur yang menterjemahkan ayat dan menafsirkannya, tertarik pula hati saya kepada menyusun al-Bayan”[48]. Karyanya yang kedua ini juga merupakan terjemahan dan tafsir al-Quran dalam bahasa Indonesia yang diperkirakan dihasilkan oleh pengarang pada awal tahun 60-an lagi. Cetakan pertama kitab tafsir ini ialah pada tahun 1971 melalui terbitan PT. Alma’arif Bandung, dengan ukuran 15 x 22 cm[49]. Hasbî Ash-Shiddieqy menyatakan sebab-sebab penulisan tafsir ini adalah untuk menyempurnakan sistem penerjemahan yang terdapat dalam Tafsir al-Nur karya pertamanya dalam bidang ini. Di samping itu ia juga merasa bahwa terjemahan-terjemahan al-Quran yang beredar ditengah-tengah masyarakat perlu dikaji dan ditinjau semula. Ash-Shiddieqy berkata di dalam kitab tafsirnya:
Maka setelah saya memperhatikan perkembangan penterjemahan al-Qur’an akhir-akhir ini, serta meneliti secara tekun terjemahan-terjemahan itu, nyatalah bahawa banyak terjemahan kalimat yang perlu ditinjau dan disempurnakan. Oleh karenanya, dengan memohon taufiq daripada Allah Ta’ala, saya menyusun sebuah terjemah yang lain dari yang sudah-sudah yang melengkapi segala lafaz, bahkan melengkapi terjemah dari lafaz-lafaz yang diungkapkan menurut pendapat pendapat ahli tafsir kenamaan[50].   Al-Bayan yang dinamakan oleh pengarang adalah bermaksud “Suatu penjelasan bagi makna-makna al-Qur’an”. Kitab ini terdiri dari dua jilid. Jilid pertama mengandungi nas-nas ayat al-Quran mulai dari surah al-Fatihah sampai dengan ayat 75 surah al-Kahf. Kesemua terjemahan dan tafsiran bagi jilid pertama mengandungi 789 muka surat. Jilid kedua Tafsir al-Bayan dimulai dari surah al-Kahf ayat ke 75 sampai dengan surah al-Nas bersama terjemahan dan tafsirannya yang terkandung dalam muka surat 789 sehingga 1604[51]
Metode penafsiran yang digunakan Hasbi adalah ijmali dengan pendekatan bi al-ma’thur. Tafsiran ayat-ayat al-Quran biasanya dimulai dengan kata “yani”. Dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an, Hasbi banyak melakukan penafsiran ayat dengan ayat yaitu dengan menerangkan ayat-ayat lain yang semakna. Ayat-ayat yang sebanding atau semakna ini biasanya dinyatakan dengan menyebut nomor surat dan nomor ayat, misalnya pada footnote 124 ketika menjelaskan surat al-Baqarah [2]: 104. Hasbi kemudian membandingkan dengan surat al-Nisa’ [4]: 46, dengan menyatakan “Bandingkan dengan ayat 46 S.4: An Nisa[52]. Sedangkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan penafsiran tersebut dinyatakan menyebut nomor surat dan nomor ayat, diawali dengan kata “bacalah”. Misalnya pada footnote 200 ia menyatakan “baca : a. 6 S 35: Fathir; a. 50 S.18: al-Kahf. Di samping itu, Hasbi juga sangat memperhatikan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum.

g. Tafsir al-Azhar

Tafsir ini ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yang merupakan singkatan namanya), lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981, adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Shaykh Abdul Karim b. Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaydân, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfalutî dan Husayn Haykal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris, dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal[53].
Tafsir ini pada mulanya merupakan rangkaian kajian yang disampaikan pada kuliah subuh oleh Hamka di masjid al-Azhar yang terletak di Kebayoran Baru sejak tahun 1959[54]. Nama al-Azhar bagi masjid tersebut telah diberikan oleh Shaykh Mahmud Shaltut, Rektor Universitas al-Azhar semasa kunjungannya ke Indonesia pada Desember 1960 dengan harapan supaya menjadi kampus al-Azhar di Jakarta. Penamaan tafsir HAMKA dengan nama Tafsir al-Azhar berkaitan erat dengan tempat lahirnya tafsir tersebut yaitu Masjid Agung al-Azhar[55].
Terdapat beberapa faktor yang mendorong HAMKA untuk menghasilkan karya tafsir tersebut. Hal ini dinyatakan sendiri oleh HAMKA dalam pendahuluan kitab tafsirnya. Di antaranya ialah keinginannya untuk menanam semangat dan kepercayaan Islam dalam jiwa generasi muda Indonesia yang amat berminat untuk memahami al-Qur’an tetapi terhalang akibat ketidakmampuan mereka menguasai ilmu Bahasa Arab. Kecenderungannya terhadap penulisan tafsir ini juga bertujuan untuk memudahkan pemahaman para muballigh dan para pendakwah serta meningkatkan keberkesanan dalam penyampaian khutbah-khutbah yang diambil daripada sumber-sumber Bahasa Arab.
HAMKA memulai Tafsîr al-Azhar dari surah al-Mu’minun karena beranggapan kemungkinan tidak sempat menyempurnakan ulasan lengkap terhadap tafsir tersebut semasa hidupnya[56]. Mulai tahun 1962, kajian tafsir yang disampaikan di masjid al-Azhar ini, dimuat di majalah Panji Masyarakat[57]. Kuliah tafsir ini terus berlanjut sampai terjadi kekacauan politik di mana masjid tersebut telah dituduh menjadi sarang “Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”. Pada tanggal 12 Rabial-Awwal 1383 H/27 Januari 1964 M, Hamka ditangkap oleh penguasa orde lama dengan tuduhan berkhianat pada negara. Penahanan selama dua tahun ini ternyata membawa berkah bagi Hamka karena ia dapat menyelesaikan penulisan tafsirnya.
Tafsir al-Azhar merupakan karya HAMKA yang memperlihatkan keluasan pengetahuannya, yang hampir mencakup semua disiplin ilmu penuh berinformasi. Sumber penafsiran yang dipakai Hamka antara lain, al Qur’an, hadis Nabi, pendapat sahabat dan tabi‘in, riwayat dari kitab tafsir mu‘tabar seperti al-Manâr dan Mafâtih al-Ghayb, serta juga dari syair-syair seperti syair Moh. Iqbal[58]. Tafsir ini ditulis dalam bentuk pemikiran dengan metode analitis atau tahlili[59]. Karakteristik yang tampak dari tafsir al-Azhar ini adalah gaya penulisannya yang bercorak adabî ijtima‘i (sosial kemasyarakatan) yang dapat disaksikan dengan begitu kentalnya warna setting sosial budaya Indonesia yang ditampilkan oleh Hamka dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an.
h. Al-Qur’an dan Tafsirnya
Tafsir ini disusun oleh Tim Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) yang terdiri dari Prof. H. Zaini Dahlan, MA., Drs. H. Zuhad Abdurrahman, Ir. RHA Sahirul Alim, M.Si., Hifni Muchtar L.Ph., MA., Drs. H. Muhadi Zainuddin, L.Th., Drs. H. Hasan Kharomen, dan Drs. H. Darwin Harsono[60]. Diterbitkan oleh Badan Wakaf UII tahun 1995 sebanyak 10 jilid. Secara teknis tafsir ini merupakan revisi dan penyempurnaan dari tafsir yang diterbitkan oleh Tim Departemen Agama RI. Anggota Tim Tafsir yang dibentuk oleh Departemen Agama RI adalah Prof. H. Bustami A Gani, Prof. TM Hasbi Ash Shiddieqy, Drs. Kamal Muchtar, H. Gazali Thaib, KH. Syukri Ghozali, Prof. Dr. H. Mukti Ali, Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya, Prof. H.M. Toha Yahya Umar, KH. Amin Nashir, Prof.KH. Ibrahim Hussin, LML, H. A. Timur Jailani, MA., Prof. KH. A. Musaddad, Prof. R. H.A. Soenarjo, SH., KH. Ali Maksum, Drs. M. Sanusi Latif, Drs. Busairi Majidi, dan Drs. A. Rochim[61].64 Tafsir ini merupakan edisi revisi dari al-Qur’an dan Tafsirnya yang disusun oleh Tim Departemen Agama RI. Perbaikan dan penyempurnaan yang dilakukan oleh Tim Universitas Islam Indonesia Yogyakarta meliputi:
a) Kesalahah penulisan teks ayat al-Quran. Penulisannya disesuaikan dengan Mushaf Uthmani yang telah distandarkan berdasarkan SK Menteri Agama No 7 tahun 1984.
b) Kesalahan penterjemah/kekurangan ayat-ayat al-Qur‟an.
c) Kesalahan penulisan hadis.
d) Melengkapi setiap hadis dengan perawi masing-masing.
e) Melengkapi tanda-tanda baca/wakaf.
f) Menyempurnakan redaksi dan ejaan sesuai dengan ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan.
g) Menyempurnakan teknis percetakan/lay out dan tulisan Arab.
h) Menyesuaikan ejaan dengan SKB 2 Menteri tentang Transliterasi Arab-Latin.
i) Penyempurnaan perwajahan al-Qur’an dan Tafsirnya.
63Tim Melengkapi daftar bacaan/bibliografi dan penyusunanya sesuai dengan tradisi keilmuan[62].
Model penyajian yang digunakan oleh tafsir ini yaitu di setiap surat dimulai dengan muqaddimah. Dalam muqaddimah diuraikan mengenai seluk beluk sekitar surat yang akan ditafsirkan. Dalam surat al-Fatihah misalnya, secara rinci dan sistematis diuraikan nama-nama surat, tempat diturunkannya surat, serta jumlah ayatnya. Setelah itu dilanjutkan dengan uraian singkat mengenai pokok isi surat al-Fatihah[63].
Berkenaan dengan metode penyampaian tafsir, dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya, diberikan batasan untuk setiap terjemah, tafsir, dan kesimpulan dengan judul khusus, sehingga memudahkan pembaca untuk memahaminya. Dalam tafsir ini juga diadakan pengelompokan ayat-ayat dalam satu surat dengan topik tertentu yang merupakan tema yang dikandung ayat-ayat yang akan ditafsirkan. Misalnya “Pengetahuan Tentang Hari Kiamat” untuk QS. Fussilat [41]: 47-4867 dan “Sikap Manusia dalam Menerima Rahmat dan Cobaan Allah Swt” untuk QS. Fussilat: 49-51.68 Hal ini memudahkan pembaca untuk menangkap tema ayat yang akan ditafsirkan. Islah Gusmian melihat bahwa metode ini merupakan salah satu usaha dari tim agar tujuan al-Quran dapat dipahami dengan mudah oleh umat Islam. Hal ini terbukti juga dari adanya pemberian kesimpulan secara konsisten di setiap akhir kelompok ayat yang dikaji.
i. Ayat Suci dalam Renungan
Tafsir ini ditulis oleh Moh. E Hasyim. Sejauh ini belum didapatkan data utuh dari Moh. E Hasyim, hanya saja penulis memperkirakan ia berasal dari daerah Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari kata pengantar yang diberikan oleh KH Miftah Farid[64] yang menyatakan bahwa Moh. E Hasyim sebelumnya pernah menyusun tafsir berbahasa Sunda Ayat Suci Lenyepaneun yang banyak dipakai oleh masyarakat muslim Jawa Barat[65]. Buku ini merupakan tafsir lengkap 30 juz yang ditulis runtut sesuai dengan urutan dalam mushaf Uthmani. Setiap volume disesuaikan dengan pembagian juz yang ada dalam mushaf sehingga buku tafsir ini berjumlah 30 jilid. Sebelum masuk pada kajian tafsir, Hasyim menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan makhraj, misalnya tentang makhraj spesifik Arab, juga huruf Arab yang biasanya ditulis dengan “a” tetapi bersuara “o” dan lain sebagainya. Model penyaijiannya adalah yang digunakan oleh Hasyim dalam tafsir ini adalah pertama teks Arab setiap ayat ditulis utuh satu ayat disertai dengan aksara latin dan terjemah Indonesia. Setelah itu setiap kata ditampilkan dalam bentuk penggalan kata. Setiap penggalan kata disertai aksara latin dan terjemah perkata. Setelah menyajikan dua model penyajian terjemah ini baru dipaparkan penjelasan tentang maksud ayat.
Model penyajian ini mempunyai keuntungan ganda yaitu pertama model penerjemahan per kata dalam satu ayat akan membantu pembaca dalam memahami makna setiap ayat. Sementara yang kedua, model terjemah per ayat akan memudahkan pembaca untuk memahami maksud ayat[66]. Dari sini dapat dipahami bahwa tafsir ini ditulis dengan penekanan bagaimana nilai-nilai al Qur‟an dapat tersosialisasi di tengah kehidupan sosial masyarakat[67].
j. Tafsir Al Mishbah
Penulis tafsir ini adalah M. Quraish Shihab. Ia lahir di Rappang Sulawesi Selatan tanggal 16 Pebruari 1944. Meraih gelar sarjana Fakultas Ushuluddin tahun 1967, MA dari jurusan Tafsir-Hadis tahun 1969 dan program doktoral tahun 1982. Semuanya ia dapatkan dari Universitas al-Azhâr Kairo Mesir. Pada tahun 1992-1998 ia menjadi rektor IAIN (sekarang menjadi UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun 1998 Ia diangkat menjadi menteri agama, dan duta besar RI di Mesir. Pada tahun 1989-sekarang ia merupakan anggota dewan pentashih al-Quran dan kini sebagai Direktur Pusat Studi al-Quran (PSQ) Jakarta[68].
Sebelum menulis karya tafsir ini, Quraish Shihab sudah banyak menulis tafsir al Qur‟an, namun kebanyakan merupakan tafsir tematis. Di antaranya adalah Membumikan al Qur’an, Lentera Hati, dan Wawasan al Qur’an. Shihab juga pernah menyusun tafsir tahlîlî dengan metode nuzûlî yaitu membahasa ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan urutan masa turunnya surat-surat al-Qur‟an dan sempat diterbitkan oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1997 dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Karim. Namun Quraish Shihab kemudian melihat bahwa karyanya tersebut kurang menarik minat masyarakat, karena pembahasannnya banyak bertele-tele dalam persoalan kosakata dan kaidah yang disajikan. Oleh karena itu ia tidak melanjutkan. Kemudian ia menulis dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat yang ia beri nama Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an[69].
Dari pemberian judul tafsirnya ini dapat diterka perhatian yang ingin ditekankan oleh Qurasih Shihab dalam tafsirnya ini. Kata al-Mishbah yang berarti pelita, mengisyaratkan keinginan Shihab untuk mendorong umat Islam agar menjadikan al-Qur‟an sebagai pelita dalam kehidupannya. Yunan Yusuf menyatakan bahwa kata al-Mishbah terinspirasi dari tulisan-tulisan Shihab yang pernah dimuat secara berkala di harian Pelita[70]. Salah satu karya Shihab juga berjudul Lentera Hati yang mempunyai kesamaan makna dengan pelita dan al-Mishbah kemudian dijadikan nama penerbit yang dikelola keluarga Shihab. Tafsir al-Mishbah diterbitkan pertama kali tahun 2000 oleh Lentera Hati Jakarta. Pembagian volume tafsir al-Mishbah didasarkan atas ketuntasan pembahasan surat-surat dalam al-Quran, sehingga masing-masing volume mempunyai kuantitas yang berbeda, tergantung dari banyaknya surat yang dibahas dalam masing-masing volume. Tercatat sebanyak 15 volume dari tafsir al-Mishbah.
Sesuai dengan perhatian Shihab terhadap tafsir tematis, maka Tafsir al-Mishbah ini pun disusun dengan tetap berusaha menghidangkan setiap bahasan surat pada apa yang disebut dengan tujuan surat atau tema pokok surat[71]. Hal ini dapat disaksikan misalnya ketika mencoba menafsirkan surat al-Baqarah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa tema pokok surat ini adalah ayat yang membicarakan tentang kisah al-Baqarah, yaitu kisah Banî Israil dengan seekor sapi. Melalui kisah al-Baqarah ditemukan bukti kebenaran petunjuk Allah, meskipun pada mulanya tidak bisa dimengerti. Kisah ini juga membuktikan kekuasaan Allah. Karena itulah sebenarnya surat al-Baqarah berkisar pada betapa haq dan benarnya ktab suci al-Qur’an dan betapa wajar petunjuknya untuk diikuti
Dalam tafsirnya ini Quraish Shihab banyak mengambil inspirasi dari beberapa mufasir terdahulu, di antaranya adalah Ibrahim Ibn Umar al-Biqai (w.885H/1480M), Muhammad Tantawî pemimpin tinggi al-Azhar, Mutawalli al-Sharawi, Sayyid Qutb, Muhammad Tahir b. Ashur, dan Muhammad Husayn Tabatabai.

KESIMPULAN
Perkembangan penafsiran al Qur’an di Indonesia agak berbeda dengan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa.
Metode penafsiran tidak terlepas dari metode terjemah dalam rangka memudahkan pemahaman umat Islam di Indonesia. Dengan kecenderungan penafsiran yang lebih mengarah pada metode penafsiran tematis, maka kajian tafsir yang berkembang lebih banyak pada tafsir tematis.
Paling tidak ada empat bentuk karya tafsir yang berkembang di Indonesia, yaitu terjemah, tafsir yang menfokuskan pada surat atau juz tertentu, tafsir tematis, dan tafsir lengkap 30 juz.
Tafsir al Quran di Indonesia yang membahas secara lengkap 30 juz sesuai dengan mushaf ustmani cukup banyak. Hal yang menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya juga merupakan salah satu ikon peradaban Islam. Karya-karya tafsir tersebut antara lain adalah Tarjuman Mustafid, Tafsir Munir li Ma‘alim al-Tanzil, Tafsir al-Furqan, Tafsir Qur’an Hakim, Fayd al-Rahman, Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan, Tafsir al-Azhar , Al-Qur’an dan Tafsirnya, Ayat Suci dalam Renungan, Tafsir Al Mishbah.



[1] AL quran 2 (Albaqarah) ;185
[2] Ibid 16;89
[3] Ibid 6;38
[4] Farrid essack. Quranic hermenautic, proplem and prospect. The muslim world vol LXXXIII. No 2
[5] Nashirudin Baidan, Perkembangan Tafsir alquran di Indonesia ( Solo : Tiga Serangkai 2003),hal.31
[6] Ibid .33
[7] Howard M Frederspiel,Kajian Tafsir indonesia,terj, Tajul Arifin (Bandung: Mizan, 1996) hal.129
[8] Karya ini merupakan salah satu proyek yang dimotori oleh depeartemen agama RI dalam rangka penerjemahan al quran kedalam bahasa indonesia.
[9] Karya ini merupakan penerjemeahan secara puitis kedalam bahasa indonesia.
[10] Karya ini membehasa surat al fatihah dikaitkan dengan berbagai penemuan ilmiah modern. Lihat bey arifin samudra al fatihah (Surabaya : Arini 1972)
[11] Lihat Islah Guzmian, Khazananh tafsir, 66-68
[12] Radiks Purba, Memahami Surat Yasin (Jakarta: Golden terayon Press, 1998)
[13] Lihat Gusmian, Khazanah Tafsir 66-68. Rafi‟udin dan KH. Edham Rifa‟i, Tafsir Juz Amma Disertai Asbabun Nuzul (Jakarta: Pustaka Dwi Par, 2000).
[14] Lihat Gusmian, Khazanah Tafsir, 66-68. Rafi‟udin dan KH. Edham Rifa‟i, Tafsir Juz Amma Disertai Asbabun Nuzul (Jakarta: Pustaka Dwi Par, 2000).
15Ayat dan surat yang dipilih tampaknya didasarkan pada ayat maupun surat yang mempunyai riwayat bi al-ma’thûr sebagai sabab al-nuzûl, di antaranya adalah al-Fâtih}ah [1]: 1, al-Baqarah [2]:19-20, 75-78, al-„Adiyat [100]: 1-5, Maryam [19]: 1-6, al-Qadr dan al-Lihat Jalaluddin Rakhmat, Tafsir bil Ma’tsur Pesan Moral al-Qur’an (Bandung: Rosdakarya, 1993).

16 Buku ini merupakan kumpulan ceramah Quraish pada acara tahlilan di kediaman mantan presiden Suharto dalam rangka mendo‟akan Fatimah Siti Hartinah Suharto tahun 1996, ditambah dengan penafsiran ayat-ayat yang dibaca dalam tahlilan yaitu surat al-Fâtih}ah, al-Baqarah: 1-5, Ayat Kurshî (QS al-Baqarah [2]: 255), akhir surat al-Baqarah (2: 284-286), al-Ikhlâs}, al-Falaq, dan al-Nâs

[17] Karya ini merupakan kumpulan kajian serius yang ditulis oleh Dawam Raharjo dalam Jurnal „Ulumul Qur‟an tahun 1990-an. Lihat M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1996).
[18] Buku Tafsir ini berawal dari artikel-artikel tafsir yang ditulis oleh Syu‟bah Asa dalam majalah Panji Masyarakat antara tahun 1997-1999
[19] Gusmian, Khazanah Tafsir, 69 -97
[20] Karya ini berasal dari Disertasi Cawidu di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1989.
[21] Karya ini berasal dari Disertasi Rahman di Pasca Sarjana IAIN Jakarta.
[22] Karya ini berasal dari Disertasi Asy‟arie di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[23] Karya ini berasal dari Tesis Machasin di IAIN Yogyakarta dengan judul Kebebasan dan Kekuasaan Allah dalam Al-Qur’an
[24] Karya ini berasal dari Disertasi Ghalib di IAIN Jakarta dengan judul Wawasan Al-Qur’an tentang Ahl Kitab tahun 1997
[25] Buku ini berasal dari Disertasi Nasaruddin Umar di IAIN Jakarta dengan judul Perspektif Jender dalam Al-Qur’an. Lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Paramadina,1999).
[26] Lihat Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-Qur’an (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999
[27] Karya ini berasal dari Disertasi Zaitunah di Pasca sarjana IAIN Jakarta. Lihat Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Jender dalam Tafsir (Yogyakarta: LkiS, 1999).
[28] Karya ini berasal dari Skripsi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul Konsep Cinta dalam Al-Qur’an
[29] 31Karya ini berasal dari Disertasi dengan judul Konsep Nafs dalam Al-Qur’an di Pascasarjana IAIN Jakarta
[30] Karya ini mengkaji berbagai fenomena angka yang ada di dalam al Qur‟an dihubungkan dengan ilmu matematika dan penemuan ilmiah modern. Lihat Muhamad Mas‟ud, Subhanallah: Quantum Bilangan-bilangan al-Qur’an (Yogyaarta: Diva Press, 2008).
[31] Tim Penyusun, Ensikopedi Islam, Vol. I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoove, 1997), 29.
[32] Lihat juga Salman Harun, “Hakekat Tafsir Tarjuman al-Mustafid Karya Syekh Abdurrauf Singkel” (Disertasi--IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,1988), 44 dan 281.
[33] M{uhammad H{usayn al-Dhahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Vol. 3 (Kairo: Dâr al-Kutub al-H{adîthah, 1961), 295-304
[34] Baidan, Perkembangan Tafsir, 68.
[35] Muhammad Nawawi Banten, Marâh} Labîd Tafsîr al-Nawawî (t.tp: al-Maktabah al-Uthmânîyah, 1305), 3.
[36] Ibid.
[37] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol. 1, 97-98.
[38] Herry Mohammad dkk. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), 85-86. Lihat juga Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir (Yogyajarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 197
[39] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol. 5, 214-215.
[40] Baidan, Perkembangan Tafsir, 89.
[41] Mishbahus Surur, “Metode dan Corak Tafsir Faidh ar-Rahman Karya Muhammad Shaleh Ibn Umar As-Samarani” (Skripsi--IAIN WaliSongo Semarang, 2011), 27.
[42] Surur, “Metode dan Corak Tafsir Faidh ar-Rahman, 33.
[43] Ibid., 44
[44] Abd. Jalal, “Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur: Sebuah Studi Perbandingan” (Disertasi--IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1985), 200
[45] TM Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), 379.
[46] 49Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan orang pertama yang menghimbau perlunya dibina fikih berkepribadian Indonesia. Gagasan ini dilontarkan pada tahun 1940 dan dipertegas kembali tahun 1960. Cetusan ini menimbulkan rekasi dan polemik dari para ulama Indonesia pada masa itu. Lihat Disertasi Ilmiah 4: Tafsir al Bayan oleh Prof. Dr. TM Hasbi Ash-Shiddieqy http://disertasi.blogspot.com. 28 Juni 2007/diakses 16 Januari 2012.
[47] Di antara karya-karyanya adalah al-Islam, Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah, Mutiara hadith, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadith, Fiqhul Mawarith, Tafsir al-Nur, Tafsir al-Bayan, Pedoman Shalat dan Pedoman Puasa. Ibid
[48] Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Bayan, Vol. 1 (Bandung: PT. Al Am‟arif, t.th), 7
[49]  Prof. Dr. TM Hasbi Ash-shiddieqy, http://disertasi.blogspot.com. 28 Juni 2007/diakses 16 Januari 2012
[50] Ibid
[51] Tafsir al-Bayan, http://disertasi.blogspot.com/diakses 16 Januari 2012.
[52] Ash Shiddieqy, Tafsir al-Bayan, Vol. 1, 214.
[53] Haji Abdul Malik Karim Amrullah, id.wikipedia.org/diakses 16 Januari 2012
[54] M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1990), 53.
[55] HAMKA, Tafsir al-Azhar, Vol. 1, (Jakarta: PT. Pembimbing Masa, 1967), 43-45.
[56] TAFSIR AL Azhar, http//disertasi.blogspot.com/diakses 16 Januari 2011
[57] Yusuf, Corak Pemikiran Kalam, 53. Islah Gusmian menyatakan bahwa kajian tafsir ini diterbitkan oleh majalah Gema Islam. Lihat Islah Gusmian, Khazahan Tafsir, 65.
[58] Tafsir al Azhar, http://disertasi.blogspot.com./diakses 16 Januari 2012
[59] Baidan, PerkembanganTafsir, 106.
[60] Tim Badan Wakaf UII., Al-Qur’an dan Tafsirnya (Yogyakarta: UII, 1995), ix.
[61] Al-Qur’an dan Tafsirnya selesai ditulis pertama kali oleh Tim yang diketuai oleh Prof. KH Ibrahim Husein LML. Dalam satu dasawarsa, tafsir ini telah dicetak sebanyak 5 kali. Naskah tafsir juga telah mengalami perbaikan sedikitnya dua kali, yaitu tahun 1985 dan 1990. Perbaikan tahun 1990 dilakukan oleh Tim Tafsir sebagaimana disebutkan di atas. Lihat Ibid.
[62] IBID
[63] Gusmian, Khazahan Tafsir, 125.
[64] KH Miftah Farid adalah seorang dai kondang yang berasal dari Jawa Barat
[65] Gusmian, Khazahan Tafsir, 84
[66] Ibid., 124.
[67] Ibid., 237
[68] M. Quraish Shihab, Logika Agama (Jakarta: Lentera hati, 2005).
[69]  Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, Vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), viii-ix
[70] Disampaikan pada salah satu sesi tutorial bagi peserta Pendidikan Kader Mufasir angkatan V yang diselenggarakan oleh Pusat Studi al-Qur‟an Jakarta tahun 2011, di mana penulis merupakan salah satu pesertanya
[71] Ibid.

No comments:
Write comments

Translate

Flag Counter

Followers